Pada dasarnya konsep kehidupan orang Bali sbb : seluruh mahluk hidup mempunyai
jiwa, baik tanaman, hewan maupun manusia. Jiwa (=Atman) berasal dari Tuhan YME;
apabila jiwa tersebut masuk dan bereaksi dengan alam material ( yaitu ditambah
lapisan-lapisan kehidupan) maka akan terbentuk makhluk hidup. Seperti itu
sederhananya.
Lalu, yang disebut sebagai roh (atau roh gentayangan) adalah jiwa yang karena alasan tertentu belum/ tidak bisa menuju alam spiritual yg lebih tinggi (padahal badan kasarnya sudah tidak ada/ tidak bisa dipakai lagi). Jiwa ini (yaitu roh) masih diselubungi oleh beberapa lapisan (seperti pikiran, nafsu, keinginan dll) sehingga mereka masih mengingat segala sesuatunya semasa hidup.
Kewajiban : Seorang Balian sedang menangani pasiennya |
Menurut kepercayaan, roh-roh ini menempati alam-alam tertentu; bukan alam
material, tapi alam spiritual di tingkat-tingkat tertentu, sesuai kesadarannya
terhadap Tuhan. Jadi, bila ada orang dengan kemampuan khusus (biasanya dikenal
dengan istilah: "dukun", "cenayang" atau
"medium") dan orang ini bisa menjadi perantara, maka roh ini bisa
digunakannya.
Jin dan Wong Samar
Orang Bali sebenarnya tidak familiar dengan konsep jin. Alih-alih jin, orang Bali meyakini adanya kekuatan alam yang bisa mempengaruhi manusia, yaitu Kekuatan Baik (Dewa) dan Kekuatan Buruk (Bhuta)–mirip dengan Feng Shui: ada energi positif dan negatif. Manusia dalam hidupnya akan selalu dipengaruhi oleh kedua kekuatan ini.
Tentang Bhuta; ada yang berwujud mahluk halus (di Bali dikenal dengan istilah wong samar). Menurut kepercayaan di Bali, mahluk jenis ini memang ada meski tidak terlihat (kasat mata) oleh sebagian besar orang. (Apakah ini yg dimaksud sebagai jin ??)
Namun demikian, manusia harus hidup rukun dengan kekuatan Bhuta ini. Caranya: kita (manusia) dalam kehidupan sehari-harinya tidak lupa memberikan sebagian dari yang kita makan atau dari yang kita punya agar makhluk-makhluk ini tidak mengganggu. Hal ini karena makhluk tersebut memiliki potensi untuk memberikan efek negatif jika "tidak terkendali".
Kenapa mahluk tersebut harus diperlakukan seperti itu? Karena setiap jengkal tanah di Bali ini (dan juga di daerah lain) ditempati mahluk tak kasat mata tersebut. Dan orang Bali sendiri percaya alam ini menciptakan makhluk-makhluk seperti itu.
Hidup Bersama
Apabila makhluk-makhlus halus tersebut tidak mau meninggalkan tempat tinggal mereka (yang bagi kita, misalnya, hanya semak belukar yang tidak nyaman) maka mau tidak mau kita akan "hidup bersama", sehingga ada dua pilihan: kompromi atau dengan jalan "kekerasan".
Konsep "hidup bersama" dengan makhluk-makhluk halus tersebut mirip dengan hidup bersama antara kita (manusia) dengan harimau atau macan. Pernahkah terbersit dalam pikirkan bahwa manusia telah mengubah dunia ini sedemikian sehingga ketika ada ular melintas di jalan raya dan tergilas truk tronton, ular tersebut tidak dapat protes pada sopir truk, pun tidak ada orang yg "menyalahkan" supir truk tersebut?
Jadi, jika kita hidup bersebelahan dengan macan atau singa, kita harus beradaptasi. Jangan melulu dipandang bahwa pihak manusia selalu benar dan pihak macan (atau makhluk-makhluk halus) selalu salah.
Masih inget acara pemburuan hantu di salah satu stasiun televisi kita?? Memang, terkadang, antara manusia dan makhluk-makhluk halus, bisa terjadi konflik yang solusinya tidak ada atau buntu. Sehingga pada keadaan tertentu, manusia harus memindahkan makhluk-makhluk tersebut ke tempatnya yg baru. Jika perlu: memakai "kekerasan". Tapi, selama masih bisa "musyawarah" dan saling "mengerti", kenapa harus pakai kekerasan?
Memanggil Roh
Ketika sedang menjalankan "pekerjaannya", hampir sebagian besar dukun, yang pernah kulihat atau pengalaman orang lain, kehilangan kesadaran-sementara (kehilangan kontrol atas dirinya), meski saya belum pernah mendengar ada yg langsung jadi liar karena pengaruh roh-roh tersebut. Bisa jadi, roh-roh tersebut adalah roh-roh dari orang yg baik-baik atau dukunnya udah punya penangkalnya. Pada intinya roh itu memang terikat di alamnya, maka dukun di Bali sering menggunakan istilah "memanggil", bukan "menyediakan tempat".
Tapi, untuk diketahui, setiap dukun hanya punya waktu yg terbatas untuk memanggil. Hal ini, kemungkinan, dikarenakan keadaan roh yg "terikat" tersebut. Ada yang perlu diperhatikan: kita (manusia) tidak bisa memanggil roh seenak hati dan sering-sering. Selain itu, seringkali perlu ada persyaratan yg harus ditebus untuk mendatangkan roh. Misalnya harus pergi ke suatu tempat atau bahkan permintaan lain yang lebih aneh. Pada kasus lain, pernah pula ada keluarga yg benar-benar ditolak oleh (roh) leluhurnya. Katanya karena antara anggota keluarga tersebut tidak rukun (bertentangan dengan pesan leluhurnya).
Ketika sedang menjalankan "pekerjaannya", hampir sebagian besar dukun, yang pernah kulihat atau pengalaman orang lain, kehilangan kesadaran-sementara (kehilangan kontrol atas dirinya), meski saya belum pernah mendengar ada yg langsung jadi liar karena pengaruh roh-roh tersebut. Bisa jadi, roh-roh tersebut adalah roh-roh dari orang yg baik-baik atau dukunnya udah punya penangkalnya. Pada intinya roh itu memang terikat di alamnya, maka dukun di Bali sering menggunakan istilah "memanggil", bukan "menyediakan tempat".
Tapi, untuk diketahui, setiap dukun hanya punya waktu yg terbatas untuk memanggil. Hal ini, kemungkinan, dikarenakan keadaan roh yg "terikat" tersebut. Ada yang perlu diperhatikan: kita (manusia) tidak bisa memanggil roh seenak hati dan sering-sering. Selain itu, seringkali perlu ada persyaratan yg harus ditebus untuk mendatangkan roh. Misalnya harus pergi ke suatu tempat atau bahkan permintaan lain yang lebih aneh. Pada kasus lain, pernah pula ada keluarga yg benar-benar ditolak oleh (roh) leluhurnya. Katanya karena antara anggota keluarga tersebut tidak rukun (bertentangan dengan pesan leluhurnya).
Fenomena Kerauhan : berinteraksi dengan para roh |
Jadi, dukun-dukun* (yang terkenal dan bukan bertujuan untuk menipu orang) di Bali biasanya adalah orang yg punya "bakat khusus" sejak lahir atau, bagi yg tidak punya "bakat khusus", biasanya berpantang sedemikian lama untuk mencari ilmu, kuat di bidang spiritual dan otomatis tidak terlalu tertarik dengan hal material (harta, tahta dan wanita/ seksual). Kemudian, tempat tinggal atau tempat praktiknya pun biasanya "dilindungi" baik oleh benda2 kasat mata atau, bahkan, mahluk2 tak kasat mata.
"Terinfeksi"
Memang pasti ada kemungkinan makhluk-makhluk halus "masuk" ke dukun
kemudian melakukan aksi "tipu-tipu". Namun, seandainya sang dukun
benar-benar sakti, seharusnya kemungkian seperti itu sudah dapat
diantisipasi.
Keluarga-keluarga di Bali, karena percaya dengan Bhuta, maka di tiap-tiap rumahnya dan di tempat-tempat tertentu menyediakan sekedar "tempat berteduh" untuk roh-roh dan makhluk-makhluk halus yang karena suatu dan lain hal menjadi "gentayangan". Bagi yang bisa "melihat", lalu membandingkan antara "suasana" di Bali dan di Jawa, dia akan melihat ada yg "teratur" dan ada yg "acak-acakan".
Jadi, dengan suasana seperti itu, maka kecil kemungkinan buat dukun "terinfeksi" mahluk2 halus, kalaupun kerasukan, tentu pihak keluarga yang memanggil akan mendeteksi karena biasanya ada pertanyaan2 pribadi yg harus dijawab terlebih dahulu. Saya pernah melihat seorang dukun yg didatangi roh orang Inggris dan langsung bicara bhs Inggris, padahal dukun tersebut tidak dapat berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa Inggris.
Sekarang kita melihat hasil; dari hasil yg pernah saya dapatkan, belum pernah ada yg menyuruh seseorang untuk mencuri, membunuh dan sebagainya. Biasanya pesannya yaitu "hidup rukun", "jangan suka bertengkar" dan seterusnya. Jika kita coba pahami dari sisi ilmiahnya, setiap dukun belajar spiritual dengan tujuan bisa "memanggil" itu seharusnya mendapatkan frekuensi tertentu atau gelombang tertentu.* Dengan demikian, dengan pantangan dan latihan sedemikian berat tentulah tidak untuk mendapatkan frekuensi "massal" yg dapat "dibajak" makhluk-makhluk halus.
Bali: Persimpangan Energi Positif dan Negatif
Uniknya, kata "orang-orang spiritual", Bali adalah persimpangan (sekaligus pertemuan) antara energi positif dan negatif yang besar. Jadi, apa kesimpulannya ? Kalo Anda mau jadi orang yang baik, dari pelabuhan Banyuwangi (Jatim) menyebrang ke Gilimanuk (Bali), siapkan pikiran Anda dengan hal-hal positif. Niscaya, di Bali, benih-benih itu akan diperkuat jika pikiran Anda sudah "disetel" pada frekuensi tersebut. Sebaliknya, jika mau menjadi "jahat"? Gampang saja, lakukan yg sebaliknya. Ini terjadi pada kasus bom Bali (Amrozi dkk.). Hanya butuh waktu yang singkat, begitu tiba di Bali, mereka memantapkan diri untuk mengebom dan bahkan sampai sekarang nggak pernah merasa bersalah.
Tahukah Anda, salah satu kunci cepatnya kasus Bom Bali I terungkap adalah karena nomer rangka mobil yg tidak hancur. Hal ini berulang-ulang kali diutarakan oleh roh-roh manusia yg gentayangan di TKP via dukun, "lihatlah* nomornya" (meski pada awalnya polisi bingung "nomor" apa yg dimaksud)
Blog nya sangat bermanfaat. Saya sudah baca beberapa artikel yg menyangkut hal-hal di Bali dari blog ini. Suksma. Mohon dilanjuti lagi mengorek informasi lebih dalam tentang Bali.
ReplyDeleteYour articles are very useful for us who use social media and thank you for your article
ReplyDeletebandar judi poker online yang paling aman
negara lain sudahsibuk membahas technology dan kemakmuran warga bersama indonesia masih membahas supernatural ...kasihan mau kapan majunya ??
ReplyDelete