Pages

Thursday, March 15, 2012

Kain Poleng Bali : Apa Makna Filosofisnya...

Kain Poleng_kain bermotif kotak dengan warna hitam-putih ini mungkin tidak berlebihan kalau diidentikan sebagai “warna khas Bali”. Dengan mudah kain ber motif ini ditemui hampir disetiap per-empatan, pohon besar, gerbang pura bahkan dipakai pula sebagai kain (jarig) penari kecak dan para pengawal/petugas keamanan tradisional (pecalang).

Bagi rekan-rekan penggemar cerita wayang, kain poleng juga dapat dilihat pada beberapa tokoh utama seperti Bima dan Hanoman.

Kain Poleng rupanya kini sudah menjadi bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali. Tidak saja digunakan untuk keperluan religius yang sifatnya sakral, kain poleng juga banyak digunakan untuk hal-hal yang sifatnya profan atau sekuler.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKqJebM50_dXP33lzsfsYgZQ1IiXOX_F8wuE32PCcO4_YoBRtqOAruJHb5febyj2-4aq2VnwQI1xRdKlvy0bQJWi13S0bdU5-wuRAXDDPohkuOzi0ERhDHMDM2_OB6eNH12Rw7Tc4efFE/s1600/RFNDXzM0MDEtS0ZLLmpwZw%253D%253D.jpg
Cermin baik dan buruk
Di pura, kain poleng digunakan untuk tedung (payung), umbul-umbul, untuk menghias palinggih (tugu), patung, kulkul (kentongan). Tidak hanya benda seni sakral, bahkan pohon yang ada di pura pun banyak dililit dengan kain poleng.


Semua orang pula tahu, bahwa kain poleng juga banyak digunakan untuk menghias benda-benda profan baik di perkantoran maupun di hotel. Misalnya untuk meja makan dan benda-benda lain yang ada di sana. Namun kain poleng untuk benda profan ini sering dicampuri dengan corak atau motif baru sehingga disebut kain poleng anyar.



Demikian pula dalam kesenian Bali, baik itu seni drama, dramatari, maupun pedalangan. Dalam drama gong, yang sering memakai kain pleng adalah penakawannya. Sedangkan dalam wayang kulit, tokoh yang memakai hiasan poleng, selain penakawan Tualen dan Merdah, juga tokoh penting seperti disebutkan di atas.
http://budaya.files.wordpress.com/2010/05/wayan-covarrubias-bhuja.jpg
Sangut, Delem, Merdah Tualen
Apa sebenarnya makna kain poleng itu? Apa pula perannya dalam kehidupan umat Hindu? Bagaimana pula nilai-nilai filosofisnya? I Ketut Rupawan mencoba mencari jawabannya dengan melakukan penelitian ilmiah. Hasil penelitiannnya itu ternyata mendapat 'pengakuan' dari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, sehingga peneliti yang sehari-harinya guru ini, berhak menyandang gelar Magister Agama Hindu (M.Ag). Tesis itu kemudian dipermak sedemikian rupa menjadi sebuah buku dan kini beredar lebih luas dalam masyarakat.

Beraneka Ragam

Menurut penelitian Rupawan, bentuk saput poleng ternyata beraneka ragam. Misalnya dari segi warna, ukurannya, hiasannya, hiasan tepinya, bahan kainnya, dan ukuran kotak-kotaknya. Berdasarkan warnanya, ada kain poleng yang disebut rwabhineda (hitam dan putih), sudhamala (putih, abu-abu, hitam), dan tridatu (putih, hitam, merah). Dilihat dari segi ukuran kotaknya pun berbeda. Ada yang berukuran 1 x 1 cm, 3 x 3 cm, dan 5 x 5 cm.

Sejak kapan kain poleng ini muncul dan digunakan umat Hindu dalam kehidupan religius? Rupawan sendiri tidak mendapatkan sumber tertulis. Namun berdasarkan hasil wawancaranya dengan berbagai informan, kain poleng sudah digunakan sejak dahulu (tidak disebutkan secara pasti). Diperkirakan, kain poleng yang pertama ada dan digunakan umat Hindu adalah kain poleng rwabhineda. Setelah itu barulah muncul kain poleng sudhamala dan tridatu. Berdasarkan perkiraan, perkembangan warna ini juga mencerminkan tingkat pemikiran manusia, yakni dari tingkat sederhana menuju perkembangan yang lebih sempurna.

Makna filosofis saput poleng rwabhineda, menurut Rupawan adalah mewujudkan rwabhineda itu sendiri. Menurut faham Hindu, rwabhineda itu adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, utara-selatan, panjang-pendek, tinggi-rendah, dan sebagainya.

Sedangkan saput poleng sudhamala merupakan cerminan rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras perbedaan dalam rwabhineda.

Kain Poleng Sudhamala dan Tridatu
Filosofi yang sama juga tercermin dalam saput poleng tridatu. Warna tridatu ini melambangkan ajaran Triguna yakni satwam, rajah, tamah. Warna putih identik dengan kesadaran atau kebijaksanaan (satwam), warna merah adalah energi atau gerak (rajah) dan warna hitam melambangkan penghambat (tamah).

Jika dikaitkan dengan Dewa Tri Murti, menurut Rupawan, warna merah melambangkan Dewa Brahma sebagai pencipta, warna hitam lambang Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan warna putih melambangkan Dewa Siwa sebagai pelebur. Dewa Tri Murti ini terkait dengan kehidupan lahir, hidup dan mati.

Kain Poleng dalam budaya Bali merupakan pencetusan ekspresi penghayatan konsep Rwa Bhineda, suatu konsep keseimbangan antara baik dan buruk, yang menjadi intisari ajaran tantrik (tantrayana).
Dengan menjaga kesimbangan antara kebaikan dan keburukan dapat menciptakan kesejahteran dalam kehidupan.

Kain Poleng yang diikatan pada pohon-pohon besar atau juga tempat yang dianggap tenget(angker) dimaksudkan untuk memberikan tanda bahwa pada lokasi tersebut tinggal (ditempatkan)/stana energi “roh”para bhuta/penunggu karang (danhyangan).

Kesakralan lokasi ini akan dijaga oleh warga setempat dengan memberikan “sesaji” secara rutin setelah mereka menghaturkan puja di pura.


Seragam Pecalang

Kini, saput poleng seakan-akan sudah menjadi busana seragam bagi pecalang (petugas keamanan desa adat). Hal itu memang sudah diisyaratkan oleh Lontar Purwadigama, bahwa seorang pecalang setidak-tidaknya mengenakan udeng atau destar khusus yang berbeda dengan udeng yang dikenakan patih sebagai pejabat kerajaan, mewastra akancut nyotot pratiwi (memakain kain atau kamben dengan ujung kain menusuk tanah), makampuh poleng (memakai saput poleng), dan sebagainya.

Pecalang : menegakkan kebenaran

Dengan demikian pecalang semestinya bercermin pada saput poleng yang dikenakan, yakni mengetahui adanya rwabhineda, keadaan aman dan kacau, baik maupun buruk, yang selanjutkan melalui kedewasaan intelektual dan kesigapannya (celang), dapat mengendalikan situasi sehingga ketertitaban Desa Pekraman dapat diwujudkan.

Kain Poleng yang dipakai oleh para pecalang juga terilhami oleh konsep ini, dimana seorang yang dipercayai oleh warga untuk menjadi “pengaman” hendaknya mampu dengan tegas memilah yang benar dan buruk






Sumber : BaliPost,Kaskus

5 comments:

  1. aku mau tanya kalo makna saput poleng yang dipakai oleh penari kecak apa? soalnya ini buat tugas sekolah , makasih sebelumnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Klo kain poleng yang dipake pemain kecak makna filosofisnya sama saja dengan keterangan artikel di atas. Kain poleng selalu identik dengan 'Bali' dalam segala aspek kehidupannya sehingga kain poleng slalu dapat dijumpai dalam keseharian masyarakat Bali, namun makna 'poleng' sebagai sebuah motif warna tidak pernah berubah. Klo mengenai tari kecak sendiri bisa dicari informasinya di internet dengan kata pencarian yang sama..semoga bisa membantu :)

      Delete
  2. kalau boleh tahu buku I Ketut Rupawan judulnya apa ya? terbitan apa? ini untuk paper kuliah soalnya, jadi harus ada sumbernya... trims.

    ReplyDelete
  3. keren, masyarakat bali memang meng'agungkan keseimbangan

    ReplyDelete
  4. kalau mau dibuat judul karya ilmiah, kira kira apa ya judulnya.

    ReplyDelete