Rakyat Indonesia yang
terdiri dari bermacam-macam suku, sejak dahulu memeluk agama yang berbeda-beda.
Tantrayana adalah suatu aliran atau sekte yang pada masa lampau pernah
cukup banyak pemeluknya dan berkembang luas di Indonesia; bahkan raja
Kertanegara dari kerajaan Singasari adalah seorang penganut yang taat dari
agama Budha Tantra.
Raja Kertanegara dari
kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah seorang raja yang sangat taat
melaksanakan ajaran Tantrayana. Beliau hidup berpesta pora di dalam istana
bersama-sama dengan mentri-mentri dan para pendeta terkemuka. Bahkan ketika
Singasari diserbu oleh pasukan kerajaan Kediri pun mereka sedang mengadakan
pesta pora, tetapi upacara pesta pora, makan minum besar-besaran tersebut bukan
sebagai pesta biasa, melainkan raja bersama para mentri dan pendeta itu sedang
melakukan upacara-upacara Tantrayana (Soekmono, 1959 : 60).
Untuk mengungkapkan
perkembangan Tantrayana di Bali maka uraian tidak bisa lepas dari hubungan Bali
dengan Jawa Timur, yang dimulai dengan perkimpoian raja Dharma Udayana
Warmadewa di Bali dengan seorang putri raja Jawa Timur yang bernama Sri
Gunapriyadharmapatni. Beliau adalah putri Makutawangsawardhana,
sedangkan Makutawangsawardhana adalah cucu Raja Sindok. Pada masa
pemerintahan Raja Sindok di Jawa Timur Tantrayana telah berkembang.
Rangda |
Pada waktu itu telah disusun
kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang menguraikan soal-soal ajaran dan ibadah
agama Budha Tantra. Kemungkinan bahwa Sri Gunapriyadharmapatni atau
Mahendradhatta pun telah terpengaruh oleh aliran itu di tempat asalnya di Jawa
timur, sebab di Bali jaman pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa dan
Gunapriyadharmapatni merupakan jaman hidup suburnya perkembangan ilmu-ilmu
gaib.
Cerita Calon Arang yang
sangat terkenal di Bali dihubungkan dengan kehidupan Mahendradhatta. Di dalam
Lontar Calon arang ada diuraikan bagaimana memuja Hyang Bhairawi atau Dewi
Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di dalam negeri Kerajaan Airlangga.
Calon arang dan muridnya menari-nari di atas mayat-mayat yang telah dihidupkan
kembali untuk persembahan Dewi Durga sebagai korban agar semua kehendaknya bisa
dikabulkan. Cara-cara seperti itu adalah hal yang biasa di dalam Tantrayana.
Permaisuri Mahendradhatta
mangkat lebih dahulu dari raja Udayana dan didharmakan di Burwan, Kutri,
Gianyar. Di tempat itu beliau diwujudkan dalam bentuk arca besar Durgamahisasuramardhini.
Arca itu merupakan Bhatari Durga yang sedang membunuh asura (setan) yang berada
pada badan seekor kerbau besar (Goris, 1048 : 6). Arca itu menguatkan dugaan
orang bahwa Mahendradhatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu gaib dan Dewi Durgalah
yang menganugerahi kesaktian (Shastri, 1963 : 49). Kendatipun dalam cerita
calon arang banyak keadaan yang bercampur baur dan keliru, tapi mungkin ada
dasar-dasarnya yang benar bahwa Mahendradhatta dilukiskan sebagai Calon Arang
(Goris, 1948 : 7). Dengan demikian maka kemungkinan pada sekitar abad X
Tantrayana telah berkembang di Bali.
Arca Durga Mahisasuramardhini di Kutri |
Kemudian pada sekitar abad
XIII di Jawa Timur memerintah raja Kertanegara sebagai raja terakhir kerajaan
Singasari. Raja ini terkenal dalam ilmu politik luar negerinya ingin meluaskan
daerah kekuasaannya ke Barat sampai ke Bali. Menurut kitab Negarakertagama raja
Kertagama pada tahun 1280 masehi membunuh orang jahat yang bernama Mahisa
Rangkah dan selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 1284 beliau telah menyerang
Bali dan rajanya ditawan (Krom, 1956 : 188). Hal itu tercantum dalam kitab
Negarakertagama di katakan sebagai berikut :
Tahun saka : yama sunti
hari baginda raja membrantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkah
lakunya dibenci seluruh negara. Tahun saka : badan-badan langit hari kirim
utusan untuk menghancurkan Bali setelah kalah rajanya menghadap baginda sebagai
orang tawanan (Prapanca, 1953 : 38).
Kitab Nagarakartagama |
Sayang sekali di dalam buku
Negarakertagama itu tidak ada disebutkan nama raja Bali itu. Prasastinya hingga
kini belum ditemukan di Bali, sehingga sulit bagi kita untuk mengetahui
nama-nama raja di Bali pada waktu itu. Dr. R. Goris di dalam kitabnya Sejarah
Bali Kuna (1948) menyebutkan bahwa ada dua buah prasasti yang berangka tahun
caka 1218 dan caka 1222, yang tidak menyebutkan nama raja, tetapi banyak
menyebutkan nama “Raja Patih” yakni Kebo Parud. Nama-nama dan pangkat mentri
lainnya juga bercorak Jawa seperti mentri-mentri kerajaan Singasari.
Prasasti pertama yang
dikeluarkan oleh Kebo Parud berangka tahun caka 1218 berisikan persoalan dan
kebengisan. Patih di dalam prasasti itu dikenal sebagai “Mwang Ida Raja Patih I
mekakasir Kebo Parud” (Goris, 1948 : 11). Berdasarkan nama patih itu dan isi
prasasti ternyata patih itu seorang pegawai negara yang berasal dari Jawa
Timur. Nama semacam itu di Kerajaan Singasari sering dipakai sebagai nama patih
raja Kertanegara antara lain Patih Kebo Arema dan Raganatha, Patih Kebo Tengah
atau Aragani. Kemungkinan Patih Kebo Parud bertugas sebagai seorang Gubernur
atau semacam itu yang mewakili pemeritah Singasari di Bali.
Prasasti lainnya
dari Kebo Parud berangka tahun caka 1222 yang menguraikan tentang desa Sukawati
yang terletak di perbatasan Min Balingkang. Dalam prasasti ini terdapat
kata-kata ; Mpukwing, Dharma Anyar, Mpukwing istana raja, Mpukwing dewa istana.
Agama yang dianut Patih Kebo Parud rupa-rupanya adalah Tantrayana. Dalam
prasasti-prasastinya pun tidak terdapat sapatha yang ditujukan kepada Maha Rsi
Agastya, sering terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali yang
dikeluarkan lebih dahulu.
Pada sekitar abad ke XIII di
kerajaan Singasari Jawa Timur memang sedang berkembang bahkan menjadi pusat
alian Tantrayana dan sebagai pemimpinnya adalah raja Kertanegara sendiri yang
memerintah tahun 1268 - 1292.
Dari jaman Kebo Parud di
Bali, didaerah Pejeng didapatkan sebuah arca Bhaiwara. Arca itu tingginya 360
cm dengan bentuk badannya yang besar dan tegap, berdiri di atas mayat manusia.
Bentuknya yang demikian menunjukkan dewa Siwa dalam keadaan marah (krodha).
Arca di tempatkan pada satu bangunan yang disebut Pelinggih Bhatara Siwa
Bhairawa. Bentuk arca itu serupa dengan arca Bhairawa di Singasari. Kemungkinan
besar bahwa latihan-latihan Tantrayana dilakukan pula pada masa pemerintahan
pegawai-pegawai kerajaan Singasari di Bali. Arca Bhairawa yang terdapat di
daerah Pejeng itu disimpan di daerah Pura Kebo Edan. Sebutan Siwa Bhairawa oleh
penduduk di sekitar pura itu menunjukkan bahwa arca itu adalah sebuah arca yang
dibuat oleh para penganut Tantrayana untuk kepentingan upacara-upacara
kepercayaan.
Arca Bhairawa di Pura Kebo Edan, Gianyar - Bali |
Selain arca Siwa Bhairawa
tersebut di atas, di halaman pura Kebo Edan terdapat pula arca-arca raksasa.
Satu arca itu ditempatkan pada satu bangunan kecil di muka sebelah kanan arca
Siwa Bhairawa, sedangkan satu lagi ditempatkan pada satu bangunan di sebut
Pelinggih Bhatara Kebo Edan. Kedua arca raksasa masing-masing tangannya membawa
mangkok-mangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan tengkorak. arca-arca
itu dalam sikap berdiri, roman mukanya sangat mengerikan dengan mata melotot.
Demikian pula seluruh kepala dan lehernya dihiasi dengan rangkaian tengkorak,
sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok darah yang dibawanya. Telinganya
menggunakan anting-anting dengan hiasan tengkorak pula. Kedua arca itu mempunyai
tinggi sama yaitu 130 cm.
Arca-arca tersebut di atas
mengingatkan akan nama Chakrachakra yaitu sebuah arca Bhairawa di candi
Singasari, Jawa Timur, yang tingginya 167 cm. Arca itu duduk di atas seekor
anjing atau Srigala dalam keadaan telanjang bulat dengan hiasan-hiasan
tengkorak dan kepala-kepala manusia pada seluruh badannya. Atribut pada tangan
arca ialah sebuah pisau besar, trisula, gendang, dan mangkok tengkorak.
Arca serupa juga terdapat di
Candi Biaro Bahal II, Padang Lawas, Batak dan Sumatra Tengah. Di tengah-tengah
ruangan candi terdapat sebuah arca Heruka bersifat mengahncurkan. Wajahnya
selalu membayangkan sifat merusak dan lebih hebat lagi terlihat pada saat dewa
kejam itu sedang dalam puncak kemarahannya. Demikianlah pada jaman itu di candi
Biaro Bahal itu telah diadakan upacara sukar ria yang melampui batas dan sangat
menggemparkan dimana darah para korban di tumpahkan kedalam sungai. Dewa
menari-nari di atas mayat manusia.
Atribut arca Heruka ialah wajra atau kilap
disertai petir pada tangan kanan, mangkuk tengkorak pada tangan kiri, tangkai
katwanggu (Trisula dihiasi dengan tengkorak-tengkorak, kepala manusia dan
sebagainya) menekan pada badannya. Tengkorak-tengkorak menghiasi kepala dan
badannya. Keajaiban seperti itu dalam upacara-upacara Tantrayana adalah biasa
dan merupakan keharusan disertai dengan tertawa yang hebat, hal itu dipahatkan
dalam salah satu prasasti di Padang Lawas : ha - ha - ha - ha - ha - hum hu -
hu - he - hai hohu- aha - ha - om ah hum. Demikianlah gelak tertawa yang terpahat
pada sebuah prasasti.
Dengan demikian rupanya
pembuatan arca-arca Siwa Bhairawa dengan sikapnya yang dahsyat dan garang serta
menari-nari di atas mayat manusia. Juga arca-arca raksasa yang membawa
mangkuk-mangkuk darah sambil menghisap darah dari dalam mangkuk-mangkuk darah
serta kerbau gila di pura Kebo Edan, kemungkinan besar dibuat adalah dalam
hubungan kepentingan melakukan upacara Tantrayana. Demikianlah pada sekitar
abad XIII Tantrayana Siwa Tantra atau Siwa Bhairawa berkembang luas di Bali.
Arca Bhairawa |
Jadi Tantrayana pernah
berkembang luas di Indonesia khususnya di Bali dalam bentuknya Siwa Tantra atau
lebih dikenal dengan Siwa Bhairawa. Perkembangannya telah mulai terlihat sejak
pemeritahan raja Dharma Udayana Warmadewa yang didampingi permaisurinya
Mahendradhatta pada lebih kurang abad X. Dalam hal ini Mahendradhatta sebagai
Calon Arang atau Rangda ing girah bersama murid-muridnya sebagai penganut
Tantrayana memuja Dewi Durga untuk mendapatkan ilmu gaib, kesaktian agar
terkabul segala kehendaknya.
Pada sekitar abad ke XIII
pada jaman Kebo Parud di Bali Tantrayana juga dilaksanakan dengan tekun oleh
Kebo Parud dan pegawai-pegawai Singasari lainnya yang bertugas di Bali pada
saat itu.
Selanjutnya sesudah abad ke
XIV tidak terdapat bukti-bukti lagi mengenai perkembangan Tantrayana itu.
Kemungkinan bahwa setelah mengalami perkembangan yang meluas baik di Jawa,
Sumatra, maupun di Bali, maka Tantrayana setelah abad XIV mengalami kemunduran.
Sebab-sebab kemundurannya itu mungkin pula disebabkan oleh kemajuan cara
berpikir manusia sehingga orang-orang menyadari bahwa arca-arca yang demikian
atau sama sekali tidak sesuai dengan kemajuan jaman selanjutnya. Banyak
upacara-upacara Tantrayana itu yang sangat bertentangan dengan kesopanan, tata
susila, kemanusiaan dan hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang biasa.
Lebih-lebih lagi pada saat
sekarang dalam hal ini Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, maka
cara-cara 5 ma dan lainnya dari Tantrayana tidak sesuai dengan dasar negara
Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya Tantrayana pada
akhirnya lenyap dari bumi Indonesia karena cara-cara pelaksanannya upacara
Tantrayana itu terlalu bebas memberi kesempatan bagi setiap orang untuk
memenuhi nafsu keduniawian dengan 5 ma-nya. Kemungkinan para penganut Tantrayana
itu memang melaksanakan 5 ma itu dengan penuh kesadaran dan tujuan untuk
menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa),
sehingga melakukan 5 ma itu bukanlah merupakan nafsu dan kenikmatan duniawi.
Tetapi cara-cara itu sangatlah sukar bisa dilaksanakan bagi orang biasa.
Demikianlah akhirnya
Tantrayana itu tidak ada lagi sisa pemeluknya khususnya baik di Bali maupun di
Jawa dan Sumatra.
Namun dalam beberapa hal
faham Tantra hingga kini masih terlihat pengaruhnya, di Bali baik di bidang
kesusastraan maupun seni pengaruh Tantrayana masih terlihat. Cerita calon
arang, cerita yang sangat terkenal dan masih tetap semangat digemari oleh
masyarakat Bali. Cerita calon arang melukiskan pertentangan antara raja
Airlangga dengan para pengikut ilmu gaib dari aliran Tantrayana. Cerita ini
hingga sekarang masih dilakonkan dalam bentuk seni tari. Mungkin banyak yang
sangat terkenal dan masih ada di Bali sekarang merupakan sisa-sisa pengaruh
Tantrayana yang masih terlihat sampai sekarang ialah sengguhu di Bali
mempergunakan atribut kalachakra : sangku putih, genderang tangan dan genta
(atribut menari dari Siwa Bhairawa) tergantung di atas sebuah chakra dengan
sebuah pegangan atau tangkai garuda.
Apabila kita perhatikan dan
kita amati secara lebih mendalam lagi pada buku Panca Yadnya khususnya mengenai
upacara Bhuta Yadnya. Bahwa Bhuta Yadnya yang tidak lain adalah korban kepada
Bhutakala, adalah bersumber dari ajaran keagamaan Tantrayana. Tantrayana
termasuk sekta atau saktiisme, karena yang dijadikan objek persembahannya
adalah sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi sumber kekuatan atau tenaga. Sakti
adalah simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the symbol of Bala or strength)
(Das Gupta, 1955 : 100). Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi
atau kala (This sakti or energi is also regarded as “kala” or time) (Das Gupta,
ibid).
Caru : salah satu bentuk Bhuta Yadnya |
Dengan demikian Saktiisme
sama dengan kalaisme. sekte keagamaan kalaisme disebut juga Kalamuka atau
kalikas dan disebut juga Kapalikas. Sekte ini sejenis dengan aliran bhairawa
atau Tantrayana kiri. Pengikut dari sekte ini di India kebanyakan dari suku
Dravida, penduduk asli India, dari pendekatan Antropologi budaya, kepercayaan
sejenis ini disebut Dynamisme.
Oleh karena pengikut sekte
ini kebanyakan penduduk asli India maka juga disebut Sudra Kapalikas. Pengikut
ini tidak percaya kepada sistem kasta dan pengikut ini selalu melaksanakan
Pancamakarapuja atau Panca Ma sebagai bagian dari pelaksanaan ritual mereka. Panca Ma ( 5 ma) itu
adalah : makan daging (mamsa), makan ikan (matsya), minum-minuman keras (mada),
mudra (melakukan gerak tangan), mythuna (mengadakan hubungan cinta yang
berlebih-lebihan). Ajaran ini hanya bersifat pemuasan nafsu dan dikucilkan dari
Weda. Aliran ini memuja Dewi sebagai ibu, baik Bhairawi, Ibu Durga maupun Kali.
Mereka adalah super matrial power.
Ibu Durga atau Bhairawi
inilah yang melahirkan para bhuta-bhuti dengan kekayaan yoganya. Perihal
penciptaan ini banyak diuraikan dalam berbagai lontar yang bersifat Tantrayana
di Bali.
Tapi dalam Dharma Sastra,
para bhutakala ini yang termasuk golongan Sadya adalah diciptakan oleh Brahman.
Golongan Sadya itu terdiri dari makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah
dari Dewa-dewa, mereka mempunyai sifat bermacam-macam. Menurut Manawa Dharma
Sastra III. 196, golongan Sadya ini terdiri dari berbagai jenis Daitya, Danawa,
Raksasa, Yaksa, Randharwa, Naga, Suparna dan Kimnara.
Daitya, Danawa, Raksasa,
Yaksa dan makhluk astral rendahan lainnya seperti peri, setan, jin dan
lain-lain adalah tergolong bhuta-bhutani. Semua golongan ini termasuk tingkat
sadya yang diciptakan oleh Brahman.
Bhuta-bhutani yang
disebut-sebut dalam sastra mempunyai sifat krodha yang artinya marah. Kelompok
ini sebagai makhluk astral sangatlah ditakuti, karena sifatnya menganggu.
Raksasa adalah sejenis bhuta
pula, termasuk didalamnya adalah Yaksa, Naga, Yatudhana dan Pisaca, kelompok
ini juga disebut Krodhawangsa. Kelompok ini biasanya diberi tugas sebagai
pelindung atau penjaga pintu sorga atau neraka termasuk kawah. Ceritera tentang
kelompok raksasa ini banyak kita jumpai dalam ceritera Mahabharata.
Ogoh-ogoh : personifikasi Bhuta Kala |
Yatudhana dan Panlastya
adalah sejenis raksasa pula, karena kesaktiannya dapat memperlihatkan dirinya
sesuai dengan kemauannya.
Paisaca adalah raksasa pula,
tapi ukurannya lebih kecil dan sifatnya adalah mengganggu dan pemarah.
Asura adalah kelompok
makhluk astral yang sifatnya bertentangan dengan dewa-dewa. Sifatnya sama pula
dengan raksasa. Kelompok asura ini antara lain Danawa dan Aditya.
Setan adalah kelompok
makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari makhluk astra di atas.
Mereka tergolong bhuta juga. Dalam Atharwa Weda dikenal nama-nama setan seperti
setan golongan Sadhanwa, setan sebagai pisaci yang dinamakan magundi. Mereka
adalah pengganggu keharmonisan atau ketentraman di dunia ini, oleh karena itu
harus diusir dengan doa-doa yang berseranakan jimat (lihat Atharwa Weda, Sukta
IX, hal. 51).
Dalam lontar Bhumi Kamulan
menguraikan bahwa Siwa sebagai Tuhan, menurunkan Korsika, Gargha, Maitri dan
Kurusya. Keempat putra ini disuruh menciptakan alam semesta, tapi tidak mau
maka ia dikutukNya menjadi bhutakala, lalu diciptakanlah Pratanjala ia sanggup
menciptakan dunia beserta isinya. Mula-mula tercipta para dewa-dewa, widyadhara-widyadhari,
gandharwa, Kim nara semua ini makhluk halus yang bertabiat kasar seperti
raksasa, danawa, pisaca, daitya, semuanya makhluk halus yang menyeramkan.
Berikutnya sampailah diciptakan makhluk halus yang terendah yaitu jin, setan,
bragala, memedi, tonye dan lain-lainnya berupa jenis bhuta yang memenuhi ruang
dan waktu.
Di lain pihak sang pencipta (Dewi Uma) tanpa disadari telah berubah
wujud menjadi aheng, bertaring, berambut gimbal, tubuh dan mulutnya membesar.
Demikianlah Uma telah berubah menjadi Durga. Melihat Uma menjadi Durga maka
Pretanjalapun merubah dirinya kedalam wujud ganas, aheng (angker) yang disebut
Mahakala. Semua makhluk halus, kasar, aheng dan angker ciptaanNya menjadi
bawahannya. Mereka tinggal ditempat-tempat yang angker dan menyeramkan seperti
pada jurang, pangkung, hutan, setra dan sebagainya. Para bhuta makhluk halus
terendah menempati tempat-tempat yang kotor, aliran air, tempat sampah-sampah
dan sebagainya.
Dewi Uma menjadi Durga |
Durga Mahakala dengan
Vadvanya ini lalu menjadi ancaman terhadap dunia ini. Ia menimbulkan penyakit,
membunuh makhluk seisi dunia ini maka sorgapun menjadi gentar. Oleh karena itu
diperintahkan turun Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara, untuk membersihkan alam ini,
dan menyucikan kembali Dirga Mahakala agar kembali menjadi somya, lalu Brahma
menjadi Rsi, Wisnu menjadi Bujangga Waisnawa dan Iswara menjadi Pedanda, ketiga
ini di sebuat Trisadhaka.
Demikianlah uraian lontar
Bumi Kamulan atau Bhumi Sivagama menguraikan sebagai berikut. Karena kesalahan
Dewi Uma, maka Bhatara Guru mengutukNya, lalu ia turun ke dunia menjadi Durga
dalam wujud lima durga, yaitu Sri Durga berkedudukan di Timur, Raji Durga
berkedudukan di Utara, Suksmi Durga berkedudukan di Barat dan Dahri Durga
berkedudukan di Selatan dan Dewi Durga berkedudukan di Tengah.
Sri Durga beryoga
menciptakan Kalika-kaliki, Yaksa-yaksi, Bhuta Dengen. Rajiyoga beryoga
mengadakan Jin, Setan, Bragala-bragali, Bebai dan segala jenis penyakit. Dhari
Duga lalu mengadakan Sangbhuta Kapiragan, Suksmi Durga mengadakan Kamala-kamali,
Kala Sweta dan lain-lain. Sedangkan Dewi Durga beryoga mengadakan Panca Bhuta,
yaitu : Bhuta Janggitan, Bhuta Langkiir, Lembu Kere, Bhuta Iruna dan Bhuta Tiga
Sakti. Melihat Uma menjadi Durga, maka Betara Guru pun mengutuk dirinya menjadi
Kala Rudra. Karena sentuhan Kala Rudra ini pada diri Durga, maka terciptalah
Bhuta Kala yang memenuhi ruang dan waktu. Kemudian dalam perkimpoian Kala Rudra
dengan Durga lahirlah Bhatara Kala.
Dalam Lontar Pangiwa,
Ratuning I Macaling di sebut-sebut adanya Sasuhunan ring tengahing samudra
dengan pepatihnya I Ratu Gede mecaling. Bhatari ini juga dikenal dengan nama
Ratu Kasuhun Kidul atau Nyi Roro Kidul kalau di Jawa. Di Bali Beliau inilah
yang memegang kekuasaan atas makhluk halus yang menyeramkan itu, termasuk para
bhutakala-bhutakali. Menjelang sasih ke enam beliau dengan Vadvanya pergi
kedesa-desa yang dapat menimbulkan penyakit, baik bagi manusia maupun binatang,
agar manusia, binatang dan alam lingkungannya tidak terganggu makhluk halus
angker dan ciptaan Durga lainnya, maka diperlukan suatu usaha untuk menjaga
keseimbangan dan keharmonisan dengan mempersembahkan caru atau menyadakan
pecaruan.
Ilustrasi Kanjeng Ratu Laut Kidul |
Perlu digarisbawahi bahwa
para praktisi Tantra menyatakan bahwa tujuan utama dari Tantra adalah sama
seperti tujuan Weda yaitu mencapai Tuhan dan kebenaran, pengetahuan dan
kebahagiaan yang merupakan atribut dari yang absolut. Menurut Kularnawa Tantra,
Veda atau Sruti adalah apa yang diingatkan untuk jaman Tretayuga. Sedangkan
Purana atau epos besar yang pernah ada adalah yang menjadi bahan perbandingan
untuk lebih memahami ajaran Sruti dan Smrti tadi.
Akhirnya, dinyatakan bahwa
Tantra adalah ajaran yang dikhususkan untuk jaman Kaliyuga. Mereka menyatakan
bahwa tidak mungkin pada jaman Kaliyuga ini, untuk melakukan ritual yang sedemikian
rumit dan berbagai tirakat yang terdapat di dalam Veda, akan tetapi
alternatifnya adalah melatih Tantra yoga yang akan menuntun pada tujuan yang
sama dan juga sekaligus memenuhi kebutuhan manusia (Tantra, hal. 183-184).
Demikianlah sekilas mengenai
Tantrayana dan perkembangannya di Indonesia.
No comments:
Post a Comment