Sendratari Calonarang adalah salah satu kesenian Bali yang termasuk 
dalam katagori kesenian untuk kepentingan ritual yang sakral (wali)
 tentu saja tidak setiap saat dipentaskan, biasanya pada saat-saat 
tertentu saja sebagai sarana untuk "melukat" (membersihkan desa dalam konteks spiritualitas).
Dramatari
 ritual magis yang melakonkan kisah-kisah yang berkaitan dengan ilmu 
sihir, ilmu hitam maupun ilmu putih, dikenal dengan Pangiwa / Pangleakan dan Panengen.
Lakon-lakon
 yang ditampilkan pada umumnya berakar dari cerita Calonarang, sebuah 
cerita semi sejarah dari zaman pemerintahan raja Airlangga di Kahuripan 
(Jawa timur) pada abad ke IX. Karena pada beberapa bagian dari 
pertunjukannya menampilkan adegan adu kekuatan dan kekebalan 
(memperagakan adegan kematian bangke-bangkean, menusuk rangda dengan 
senjata tajam secara bebas) maka Calonarang sering dianggap sebagai 
pertunjukan adu kesaktian (batin).
![]()  | 
| Pertunjukan Sendratari Calonarang | 
Dramatari ini pada intinya merupakan perpaduan dari tiga unsur penting, yakni Babarongan diwakili oleh Barong Ket, Rangda dan Celuluk, Unsur Pagambuhan diwakili oleh Condong, Putri, Patih Manis (Panji) dan Patih Keras (Pandung) dan Palegongan diwakili oleh Sisiya-sisiya (murid-murid).
Tokoh penting lainnya dari dramatari ini adalah Matah Gede dan Bondres.
Pertunjukan
 Calonarang bisa diiringi dengan Gamelan Semar Pagulingan, Bebarongan, 
maupun Gong Kebyar. Dari segi tempat pementasan, pertunjukan Calonarang 
biasanya dilakukan dekat kuburan (Pura Dalem) dan arena pementasannya 
selalu dilengkapi dengan sebuah balai tinggi (trajangan atau tingga) dan
 pohon pepaya.
Pertunjukan "Tari Barong" yang sering dipentaskan untuk umum sebagai sarana pentas (balih-balihan) memiliki beberapa unsur yang hampir menyerupai sendratari Calonarang, namun nilai sakralnya yang berkurang.
![]()  | 
| Tari Barong | 
Kisah ceritanya adalah sebagai berikut :
![]()  | 
| pementasan sendratari calonarang | 
Di Kerajaan Kediri 
pada masa pemerintahan Erlangga yaitu didesa Dirah ada sebuah Perguruan 
Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan yang dipimpin oleh seorang janda yang 
bernama Ibu Calonarang, mempunyai murid – murid yang semuanya perempuan 
dan diantaranya ada empat murid yang ilmunya sudah senior antara lain :
- Nyi Larung.
- Nyi Lenda.
- Nyi Lending.
- Nyi Sedaksa.
 
- Nyi Lenda.
- Nyi Lending.
- Nyi Sedaksa.
Calonarang juga mempunyai anak kandung 
seorang putri yang bernama Diah Ratna Mengali, berparas cantik jelita, 
tetapi putrinya tidak ada satupun pemuda yang melamarnya.
![]()  | 
| Ilustrasi Calonarang dan putrinya Ratna Mangali by Devianart | 
Karena Diah Ratna Mangali diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada hukum keturunan yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu, begitulah pengaduan dari Nyi Larung yaitu salah satu muridnya yang paling dipercaya oleh Ibu Calonarang.
Mendengar pengaduan 
tersebut, tampak nafas Ibu Calonarang mulai meningkat, pandangan matanya
 berubah seolah-olah menahan panas hatinya yang membara. 
Pengaduan 
tersebut telah membakar darah Ibu Calonarang dan mendidih, terasa 
muncrat dan tumpah ke otak. Penampilannya yang tadinya tenang, dingin 
dan sejuk, seketika berubah menjadi panas, gelisah. Kalau diibaratkan 
Sang Hyang Wisnu berubah menjadi Sang Hyang Brahma, air berubah menjadi 
api. Tak kuasa Ibu Calonarang menahan amarahnya. Tak kuat tubuhnya yang 
sudah tua tersebut menahan gempuran fitnah yang telah ditebar oleh 
masyarakat Kerajaan Kediri.
 
Ibu Calonarang sangat sedih bercampur 
berang, sedih karena khawatir putrinya bakal jadi perawan tua, itu 
berarti keturunannya akan putus dan tidak bisa pula menggendong cucu, 
berang karena putrinya dituduh bisa ngeleak.
Ibu Calonarang berkata kepada Nyi Larung :
“Hai Nyi Larung, penghinaan ini bagaikan air kencing
 dan kotoran ke wajah dan kepalaku. Aku akan membalas semua ini, rakyat 
Kediri akan hancur lebur, dan luluh lantak dalam sekejap. Semua 
orang-orangnya akan mati mendadak. Laki-laki, perempuan, tua muda, 
semuanya akan menanggung akibat dari fitnah dan penghinaan ini. Kalau 
tidak tercapai apa yang aku katakan ini, maka lebih baik aku mati, 
percuma jadi manusia. Kalau Ibu Calonarang ini tidak melakukan balas 
dendam maka hati ini tidak akan merasa tentram”.
 
Demikian kata-kata 
Ibu Calonarang yang sangat mengerikan kalau seandainya hal ini menjadi 
kenyataan. Nyi Larung kemudian menyahut dan bertanya “Kalau demikian 
niat Guru, bagaimana kita bisa melakukan hal tersebut”. segera dijawab 
oleh Ibu Calonarang. “Kau Nyi Larung, ketahuilah, jangan terlalu 
khawatir akan segala kemampuanku. Aku Ibu Calonarang bukanlah orang 
sembarangan dan murahan. Kalau tidak yakin dengan diri, maka aku tidak 
akan sesumbar begitu. Biar mereka tersebut merasakan akibat dari segala 
perbuatan yang telah mereka lakukan terhadap anakku.
 
Kau Nyi Larung, 
Ibu minta agar kau mengumpulkan semua murid-muridku supaya segera masuk 
ke Pasraman Pengeleakan. “Tunggu sampai tengah malam nanti. Aku akan 
menurunkan segala ilmu kewisesan yang aku miliki kepada kalian semua. 
Karena sekarang hari masih terang dan sore, lebih baik engkau semua 
melakukan pekerjaan seperti biasanya. Aku akan mempersiapkan segala 
sesuatunya. Nanti malam kita akan berkumpul lagi membicarakan masalah 
tersebut, dan ingat tidak ada yang boleh tahu mengenai apa yang kita 
akan lakukan ini, kita akan membuat Kerajaan Kediri gerubung yaitu 
berupa serangan wabah penyakit yang sulit diobati yang dapat mematikan 
rakyatnya dalam waktu singkat. 
Demikian Ibu Calonarang menutup 
pembicaraannya pada sore hari tersebut, dan semua kembali melakukan 
kegiatan sebagaimana mestinya.
Gerubug Di Kerajaan Kediri
 
Gerubug Di Kerajaan Kediri
Diceritakan
 Rakyat Kerajaan Kediri di siang harinya yang ramai seperti biasanya. 
Masyarakatnya sebagian besar hidup dari bertani di sawah dengan menanam 
padi dan palawija. Anak-anak muda semuanya riang gembira bermain sambil 
mengembalakan sapi dan bebek di sawah. Mereka riang gembira, menemani 
orang tuanya yang sedang membajak sawah. Ada pula masyarakat yang 
bekerja sebagai tukang membuat rumah, pondok, bangunan suci seperti pura
 dan sanggah, atau membuat angkul-angkul atau pintu gerbang, dan 
lain-lain. 
Bagi kaum perempuan dan yang bekerja sebagai pedagang dengan 
menjual kue, nasi, kopi dan ada pula yang menenun kain untuk keperluan 
sendiri. Ada pula dari golongan pande bekerja khusus membuat perabotan 
pisau, sabit, parang, cangkul, keris, dan perabotan dari besi lainnya. 
Bagi yang mempunyai waktu luang yang laki-laki biasanya diisi dengan 
mengelus-elus ayam aduan, dan bagi yang perempuan digunakan untuk 
mencari kutu rambut.
![]()  | 
Tidak ada terasa hal-hal aneh atau pertanda aneh
 di siang hari tersebut. Kegiatan masyarakat berlangsung dari pagi 
sampai sore, bahkan sampai malam hari. Pada malam hari masyarakat yang 
senang matembang atau bernyanyi melakukan kegiatannya sampai malam. 
Demikian pula dengan sekaa gong latihan sampai malam di Balai Banjar. 
Suasananya nyaman, tentram, dan damai sangat terasa ketika itu.
 
Setelah
 tengah malam tiba, semua masyarakat telah beristirahat tidur. 
Suasananya menjadi sangat gelap dan sunyi senyap, ditambah lagi pada 
hari tersebut adalah hari Kajeng Kliwon. Suatu hari yang dianggap kramat
 bagi masyarakat. Masyarakat biasanya pantang pergi sampai larut malam 
pada hari Kajeng Kliwon. Karena hari tersebut dianggap sebagai hari yang
 angker. Sehingga penduduk tidak ada yang berani keluar sampai larut 
malam.
 
Ketika penduduk Rakyat Kediri tertidur lelap di tengah malam, 
ketika itulah para murid atau sisya Ibu Calonarang yang sudah menjadi 
leak datang ke Desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri. Sinar beraneka
 warna bertebaran di angkasa. Desa-desa pesisir bagaikan dibakar dari 
angkasa. Ketika itu, penduduk desa sedang tidur lelap. Kemudian dengan 
kedatangan pasukan leak tersebut, tiba-tiba saja penduduk desa merasakan
 udara menjadi panas dan gerah. Angin dingin yang tadinya mendesir 
sejuk, tiba-tiba hilang dan menjadi panas yang membuat tidur mereka 
menjadi gelisah. 
![]()  | 
Para anak-anak yang gelisah, dan terdengar tangis para 
bayi di tengah malam. Lolongan anjing saling bersahutan seketika. 
Demikian pula suara goak atau burung gagak terdengar di tengah malam. 
Ketika itu sudah terasa ada yang aneh dan ganjil saat itu. Ditambah lagi
 dengan adanya bunyi kodok darat yang ramai, padahal ketika itu adalah 
musim kering. Demikian pula tokek pun ribut saling bersahutan 
seakan-akan memberitahukan sesuatu kepada penduduk desa. Mendengar dan 
mengalami suatu yang ganjil tersebut, masyarakat menjadi ketakutan, dan 
tidak ada yang berani keluar.
 
Endih atau api jadi-jadian yang 
berjumlah banyak di angkasa kemudian turun menuju jalan-jalan dan 
rumah-rumah penduduk desa. Api sebesar sangkar ayam mendarat di 
perempatan jalan desa, dan diikuti oleh api kecil-kecil warna-warni. 
Setelah itu para leak yang tadinya terbang berwujud endih, kemudian 
setelah di bawah berubah wujud menjadi leak beraneka rupa, dan 
berkeliaran di jalan-jalan desa. 
![]()  | 
| ilustrasi | 
Ketika malam itu, ada seorang 
masyarakat memberanikan diri untuk mengintip dari balik jendela 
rumahnya. Untuk mengetahui situasi di luar rumah. Namun apa yang 
dilihatnya? Sangat terkejut orang tersebut menyaksikan kejadian di luar.
 Orang tersebut, karena saking takutnya, segera ia masuk ke dalam rumah 
dan mengunci pintunya rapat-rapat, serta segera memohon kehadapan Hyang 
Maha Kuasa agar diberikan perlindungan. Kemudian orang tersebut 
mengalami sakit ngeeb atau ketakutan yang berlebihan dan tidak mau 
bicara.
 
Para murid atau sisya Ibu Calonarang yang berjumlah tiga 
puluh empat orang ditambah dengan empat orang muridnya yang sudah senior
 yaitu Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, dan Nyi Sedaksa, semua sudah 
berada di desa pesisir. Malam yang sangat gelap kemudian ditambah dengan
 hujan gerimis yang memunculkan bau tanah yang angid, mambuat para leak 
menjadi semakin bersuka ria. Beberapa bola api bertebaran di angkasa 
berkejar-kerjaran dan menari-nari. 
![]()  | 
| Calonarang dan para muridnya | 
Monyet-monyet besar, anjing bulu 
kotor, dan babi bertaring panjang berkeliaran di jalan-jalan sepanjang 
desa wilayah pesisir bercanda bersuka ria. Leak kambing, gegendu kerbau,
 gegendu jaran tampak jalan-jalan mengitari Kerajaan Kediri. Demikian 
pula dengan sosok Leak Celuluk yang berkelebat-kelebat dan bersandar di 
angkul-angkul rumah penduduk. 
![]()  | 
| celuluk | 
Leak yang berwujud kreb kasa atau kain 
putih panjang bergulung-gulungan tampak melintang di jalanan. Di 
perempatan dan pertigaan jalan Desa, sosok Leak berwujud bade atau 
menara pengusungan mayat sedang menari-nari memenuhi jalanan. Semua leak
 tersebut menjalankan tugas seperti apa yang diperintahkan oleh gurunya 
yakni Ibu Calonarang.
 
Sungguh-sungguh seram memang pada malam itu. 
Penduduk desa tidak ada yang berani berkutik, apalagi keluar rumah. Para
 leak di malam itu telah menyebarkan penyakit grubug di desa-desa 
wilayah pesisir Kerajaan Kediri. Setelah semalaman para leak berpesta 
pora, maka hari telah menjelang pagi. Tiba saatnya para Leak untuk 
kembali ke wujud semula. Karena begitulah hukumnya sebagai leak. Waktu 
mereka adalah di malam hari. Apabila mereka melanggar hukum tersebut 
maka mereka akan mendapatkan bahaya. Ketika hari menjelang pagi para 
leak pun kembali ke tempatnya semula, dan pulang ke rumah. Demikian pula
 dengan Ibu Calonarang beserta Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi dan Nyi 
Sedaksa kembali pulang ke rumah setelah pesta pora di malam hari. 
Sekarang mereka hanya tinggal menunggu hasil dari kerja mereka semalam.
 
Diceritakan
 keesokan harinya penduduk desa bangun pagi-pagi. Mereka ramai 
menceritakan keanehan-keanehan dan keganjilan-keganjilan yang terjadi 
pada malam harinya. Semuanya menceritakan apa yang mereka rasakan atau 
apa yang mereka sempat saksikan malam itu dirumah masing-masing. Namun 
sedang asyiknya mereka bercerita, tiba-tiba saja ada seorang penduduk 
yang menjerit minta tolong. Orang tersebut mengatakan salah seorang 
keluarganya tiba-tiba saja sakit perut, muntah-muntah, dan 
mencret-mencret. 
Ketika mau memberikan pertolongan kepada penduduk di 
sebelah Barat tersebut, tiba-tiba saja tetangga di sebelah Timur 
menjerit minta tolong ada salah seorang keluarganya yang muntah dan 
mencret. Pagi itu, masyarakat desa menjadi panik. Karena mendadak 
sebagian penduduk mengalami muntah dan mencret. Bahkan pagi itu, ada 
beberapa yang telah meninggal. Beberapa lagi belum ada yang sempat 
diberi obat, tiba-tiba sudah meninggal. 
Demikian semakin panik 
masyarakat di desa. Segera saja yang meninggal dikuburkan di setra atau 
tempat pemakaman mayat, namun ketika pulang dari setra, tiba-tiba saja 
yang tadinya ikut mengubur menjadi sakit dan meninggal. Demikian 
seterusnya. Penduduk desa dihantui oleh bahaya maut. Seolah-olah 
kematian ada di depan hidung mereka. Sungguh mengerikan pemandangan di 
desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri ketika itu. Kerajaan Kediri 
gempar, sehari-hari orang mengusung mayat kekuburan dalam selisih waktu 
yang sangat singat.
 
Menghadapi situasi demikian beberapa penduduk dan
 prajuru desa mencoba untuk menanyakan kepada para balian atau dukun 
untuk minta pertolongan. Para balian pun didatangkan ke desa-desa yang 
kena bencana wabah gerubug. Ternyata mereka juga tidak dapat berbuat 
banyak menghadapi penyakit gerubug yang dialami penduduk desa. Bahkan, 
si balian atau dukun yang didatangkan tersebut mengalami mutah berak dan
 meninggal. Setiap hari kejadian tersebut terus berlangsung. Penduduk 
desa menjadi bingung dan panik. 
Ada yang berkehendak untuk mengungsi dan
 menghindar dari grubug tersebut. Mereka berbondong-bondong meninggalkan
 desanya. Namun ketika sampai di batas desa, mereka itu mengalami muntah
 berak dan meninggal seketika. Melihat keadaan seperti itu penduduk yang
 masih hidup menjadi semakin ketakutan. Ketika malam hari, mereka semua 
tidak ada yang berani tidur sendirian, dan tidak berani keluar rumah. 
Lolongan anjing tak henti-hentinya di malam hari. Burung gagak, katak 
dongkang, semuanya ribut saling bersahutan.
 
Adanya musibah yang 
menakutkan bercampur dengan sedih, para penduduk mencoba untuk berpasrah
 diri dan menyerahkan semuanya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Setiap 
saat mereka memuja dan memohon kehadapan beliau agar bencana grubug ini 
segera berakhir, dan semua penduduk yang masih hidup diberkahi 
keselamatan dan kekuatan. 
Di samping itu perlindungan-perlindungan magis
 dipasang di depan pintu masuk pekarangan dan pintu rumah. Sesuai dengan
 petunjuk orang pintar atau sesuai dengan kebiasaan para tetuanya 
terdahulu. Penduduk memasang sesikepan atau pelindung magis seperti daun
 pandan berduri yang ditulisi tapak dara atau tanda palang dari kapur 
sirih, berisi bawang merah, bawang putih, jangu, juga benang tri datu 
yaitu benang warna merah, putih, hitam, dan pipis bolong atau uang 
kepeng. Jadi pada dasarnya semua dilakukan untuk menolak penyakit, dan 
memohon perlindungan kehadapan Hyang Maha Kuasa.
 
Setelah berberapa 
hari mengalami kepanikan, kebingungan dan ketakutan, akhirnya para 
prajuru desa atau Pengurus Desa, para penglingsir atau tetua, dan para pemangku, mengadakan pertemuan di salah satu Balai Banjar di Desa Girah.
 Pada intinya mereka membicarakan mengenai masalah atau penyakit gerubug
 yang menyerang desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Kalau 
seandainya masalah ini dibiarkan begitu saja, sudah pasti penduduk desa 
akan habis semuanya.
 
Mereka tetap berharap agar semua masyarakat 
meningkatkan astiti bhaktinya atau pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang 
Widhi Wasa atau Tuhan agar diberikan keselamatan, kesehatan, 
perlindungan, dan umur panjang. Disamping itu pula para prajuru desa 
para penglingsir atau tetua desa beserta dengan para pemangku sepakat 
untuk melaporkan masalah ini kehadapan Prabu Airlangga Raja Kediri. 
Mereka berencana memohon kehadapan Raja Airlangga agar beliau berkenan 
untuk datang ke desa-dewa wilayah pesisir Kerajaan Kediri meninjau 
rakyatnya yang sedang ditimpa musibah penyakit atau gerubug. Karena 
beliau sebagai penguasa atau sebagai Raja Kediri berhak tahu dan wajib 
untuk melindungi rakyatnya dari bencana. Demikian kesepakatan mereka dan
 merencanakan akan berangkat ke Istana besok pagi.
 
Ketika para tetua 
desa dan prajuru disertai dengan para pemangku masih berada di Bale 
pertemuan, tiba-tiba saja muncul seseorang yang bertubuh tinggi, kepala 
kribo, berkumis tebal dan brewok. Orang ini berjalan sempoyongan, dengan
 mata merah, dan bicaranya ngawur. 
Rupanya orang ini dalam keadaan 
mabuk. Orang tersebut datang di bale pertemuan dan berkata bahwa anaknya
 telah meninggal karena muntah mencret. Pemabuk itu kemudian berkata : "
mana Leak Calonarang yang telah memakan anakku, akan aku santap bola 
matanya mentah-mentah". Demikian orang tersebut sesumbar dihadapan para 
sesepuh desa. Ketika setelah mengatakan sesumbar tersebut Si Brewok 
tiba-tiba saja muntah mencret tak tertahankan, dan akhirnya tewas di 
tempat.
 
Setelah beberapa saat Si Brewok tergeletak, kemudian para 
tetua desa tersebut menjadi teringat dengan kejadian yang terjadi 
beberapa waktu lalu ketika di Desa Girah. Mereka baru ingat bahwa Si 
Brewok inilah yang menjadi biang keladi dari kejadian yang menimpa Diah 
Ratna Manggali anak Ibu Calonarang. Bersama-sama dengan orang banyak, Si
 Brewok ini telah membuat fitnah Diah Ratna Mengali bisa ngeleak karena 
Ibunya Calonarang adalah orang sakti dan bisa ngeleak. 
Jangan-jangan hal
 itu yang menjadi penyebab dari penyakit gerubug yang melanda desa-desa 
pesisir wilayah Kerajaan Kediri sekarang ini. Karena Calonarang merasa 
tersinggung dan terhina tidak akan tinggal diam. Mungkin saja ia akan 
membalas dendam sesuai dengan kemampuannya. Apalagi Calonarang adalah 
seorang yang sangat sakti dan memiliki murid yang sangat banyak. 
Sehingga dengan ilmu yang dimiliki mereka mencoba untuk menghancurkan 
desa-desa di Kerajaan Kediri dengan menebar penyakit gerubug. Rupanya 
mereka yang ada di sana mempunyai pikiran yang sama, dan sepakat untuk 
segera melaporkan hal tersebut kehadapan Prabu Airlangga Raja Kediri.
 
Keesokan
 harinya para prajuru desa beserta rombongan berangkat menuju Istana 
Kediri. Sangat cepat perjalanan mereka, sehingga tidak diceritakan 
sampailah rombongan tersebut di bencingah atau alun-alun Istana Raja. 
Ketika di Istana rombongan tersebut menyaksikan suatu keadaan yang 
tenang, damai, dan biasa saja, jauh dari kesusahan, kalau dibandingkan 
dengan apa yang terjadi di desa sekarang ini. 
Di bencingah puri tampak 
sekelompok masyarakat yang sedang duduk-duduk di bawah rimbunnya daun 
beringin yang sangat besar yang tumbuh di becingah, seolah-olah 
memayungi rakyat Kediri dari terik sinar matahari. Bangsingnya atau 
akarnya yang menjulur sampai menyentuh tanah seolah-olah menjulurkan 
tangannya untuk menolong rakyat Kediri yang kesusahan. Mereka seperti 
biasa yang laki-laki beristirahat, sambil mengecel atau mengelus ayam 
aduan. Di sampingnya tampak berderet ayam aduan dengan beraneka warna, 
dan mekruyuk atau berkokok saling bersahutan. Disana, ada pula dagang 
kopi, dagang kue, dagang nasi, dengan be guling nyodog atau babi guling 
yang utuh dan diletakkan di atas meja dagangan.
 
Rombongan tersebut 
disapa oleh orang-orang yang ada di bencingah. Mereka kemudian segera 
masuk ke dalam Istana Raja melalui pemedalan atau pintu keluar candi 
bentar yang megah, disandingkan dengan bale kulkul yang menjulang 
tinggi, dan bale bengong yang tampak mempesona, membuat mereka menjadi 
klangen atau kagum. Di hulu sebelah timur laut terdapat pemerajan puri 
atau tempat suci keluarga Raja yang sangat disucikan.
 
Mereka kemudian
 menghadap Prabu Airlangga di Bale penangkilan atau balai penghadapan. 
Setelah memberikan penghormatan kehadapan Sang Prabu, rombongan tersebut
 kemudian menjelaskan segala sesuatu maksud dan tujuannya mengahap ke 
Istana. Dijelaskan pula secara panjang lebar mengenai masalah yang 
sedang melanda desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Mereka 
kemudian memohon agar Sang Prabu berkenan untuk meninjau ke desa-desa. 
Demikian hatur mereka semua kehadapan Sang Prabu. Kemudian Sang Prabu 
menjawab dengan kata-kata yang agak berat, dan dengan roma muka yang 
agak tegang ketika itu.
“Kalau begitu keadaannya, penyebar gerubug di desa-desa wilayah pesisir tidak lain dan tidak bukan adalah Ibu Calonarang. Aku tidak akan meninjau ke desa lagi. Tetapi aku akan segara berupaya untuk menyelesaikan masalah kalian, dan menghadapi Calonarang yang sakti tersebut”.
“Pengerusakan dan penyebaran penyakit di desa-desa oleh Calonarang sebenarnya adalah tantangan langsung bagiku sebagai penguasa di Kerajaan Kediri. Aku akan menghadapi bagaimanapun ririh atau saktinya Calonarang. Calonarang sangat berani kepadaku, dan sangat besar dosanya karena telah membunuh banyak rakyatku yang tidak berdosa. Sangat besar dosanya terhadap kerajaan, sehingga orang tersebut harus mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal”.
Demikian sabda Raja 
Kediri yang menabuh genderang perang terhadap Calonarang.
 
Sang Prabu 
juga menyampaikan pesan kepada rombongan Desa Girah sesampai di rumah 
nanti, beritahukan kepada seluruh rakyatku semuanya. Tenanglah, 
bersabarlah dan selalulah memuja kebesaran Ida Betara Tri Sakti yang 
berstana di Pura Kayangan Tiga. Selalulah berjaga-jaga di perbatasan 
desa sambil menghidupkan api obor sebagai penerangan dan sekaligus mohon
 perlindungan kehadapan Hyang Betara Brahma. 
Sebelum itu jangan lupa 
menghaturkan canang atau sesajen di sanggah atau tempat suci keluarga 
masing-masing agar para leluhur kita juga ikut membantu melindungi dari 
bahaya ini. Kemudian mohonlah sesikepan atau sarana magis yang bersarana
 bawang putih, jangu, benang tri datu, dan pipis bolong, sebagai sarana 
penolak leak. Demikian perintah dan sekaligus pesan Raja Kediri kepada 
rakyat beliau yang sedang ditimpa bencana gerubug dan salanjutnya para 
penghadap tersebut diijinkan untuk pamit kembali pulang. Tidak 
diceritakan perjalanan mereka, maka sampailah rombongan tersebut di 
rumah, dan segera memberitahukan apa yang menjadi titah Raja Kediri.
Raja Kediri Murka
 
Raja Kediri Murka
Kembali
 diceritakan Prabu Airlangga Raja Kediri. Sepeninggalan rombongan Desa 
Girah, maka beliau sendirian duduk termenung di bale penangkilan. 
Pandangannya menerawang jauh kemana-mana, tangannya dikepalkan, dan 
tampak gelisah. Duduk bangun, demikianlah Sang Prabu sendirian di 
Istana. Tampaknya Sang Prabu tak kuasa menahan amarah dan panas hati 
beliau akibat ulah Calonarang. Sangat menakutkan sekali perangai beliau 
ketika itu. Diibaratkan macan gading atau harimau kuning yang akan 
menerkam mangsanya. 
Tak seorang pun parekan atau punakawan di puri atau 
istana yang berani menyapa beliau. Istri dan parekan atau punakawan di 
puri atau istana semuanya terdiam takut melihat gelagat Sang Prabu yang 
lagi murka. Tidak ada yang berani menghampiri dan menemani beliau ketika
 itu. Suguhan wedang atau kopi dan juga hidangan yang lainnya tidak 
disentuh sama sekali. Pikiran beliau hanya tertuju kepada upaya 
bagaimana mengalahkan Calonarang yang sakti tersebut.
 
![]()  | 
| Patih Madri | 
Ketika hari 
menjelang siang, Sang Prabu belum juga beranjak dari tempat beliau duduk
 sejak pagi. Kemudian secara tak disangka-sangka datang Ki Patih Madri 
menghadap Sang Prabu ke Istana. Ia adalah seorang tabeng dada atau 
pengawal Istana. Ki Patih Madri berperawakan tinggi besar, pintar ilmu 
silat atau bela diri, dan menguasai beberapa ilmu kanuragan. Ia sangat 
berpengaruh di kalangan orang-orang di Kerajaan Kediri, namun ia sendiri
 berpenampilan sangat sederhana, polos, dan sangat setia kepada Istana 
terutama kehadapan junjungannya yakni Prabu Airlangga Raja Kediri.
Sangat
 gembira sekali perasaan Sang Prabu ketika Ki Patih Madri muncul di 
Istana, dan segera Sang Prabu menyuruhnya mendekat untuk diajak bertukar
 pikiran. Bagaikan diperciki embun pagi yang sejuk perasaan Raja 
Airlangga ketika Ki Patih Madri datang pada saat yang diperlukan sekali.
 Sambil menikmati hidangan kopi yang telah disuguhkan, Sang Prabu 
berkata kepada Ki Patih Madri : 
“Aku hari ini sangat kesal, marah dan 
bercampur sedih dalam hatiku. Yang menyebabkan adalah ulah onar 
Calonarang yang telah menebar penyakit gerubug di desa-desa pesisir 
wilayah Kerajaan Kediri. Banyak rakyatku yang sakit dan meninggal di 
sana. Ia ingin menghancurkan Kerajaan Kediri, serta menghancurkan 
kekuasaanku. Sekarang karena kebetulan sekali Patih Madri datang ke 
Istana, maka aku ingin mendapatkan masukan dari engkau mengenai masalah 
yang menimpa desa tersebut. Bagaimana caranya menumpas dan melenyapkan 
Calonarang beserta sisya-sisyanya atau murid-muridnya yang telah berbuat
 onar tersebut. Sebab kalau tidak ditangani segera, maka rakyat desa 
Kerajaan Kediri akan habis, bahkan ia akan merencanakan untuk 
menghancurkan Kerajaan Kediri secara keseluruhan”. 
Demikian kata 
pembukuan yang cukup panjang dari Sang Prabu kepada Ki Patih Madri.
Mendengar semua itu, merasa kaget Ki Patih Madri, sebab sebelumnya ia sama sekali tidak mendengar adanya masalah ini. Ki Patih Madri berpikir sejenak, kemudian menjawab apa yang dikatakan Sang Prabu. “Mohon ampun Paduka, tidak patut rasanya hamba sebagai patih yang jugul punggung atau sangat bodoh memberikan masukan kehadapan Paduka. Namun atas titah Paduka, maka hamba akan mencoba untuk ikut urun pendapat mengenai masalah ini. Namun hamba bagaikan nasikin segara atau membuang garam ke laut begitulah ibaratnya”.
Lebih lanjut Ki Patih Madri menyampaikan haturnya kehadapan 
Sang Prabu “Kalau mendengar tingkah laku Calonarang tersebut, maka 
inilah yang disebut dalam sastra agama sebagai Atharwa yang artinya 
melakukan pembunuhan yang sangat kejam terhadap orang lain yang tidak 
berdosa dengan menggunakan Ilmu Hitam. Mereka telah menebar cetik atau 
racun niskala di wilayah desa. Ini pula digolongkan sebagai Himsa Karma 
yakni perbuatan membunuh makhluk lain secara sewenang-wenang. Para 
pelaku dari semua ini harus dihukum berat dan setimpal”. Demikian hatur 
Ki Patih Madri kehadapan Sang Prabu. 
Kemudian Ki Patih Madri menambahkan
 haturnya "Sekarang Paduka jangan terlalu bersedih dan khawatir. Hamba 
akan menjalankan Swadharmaning Kawula (kewajiban sebagai rakyat) bersama
 dengan rakyat Kediri yang lainnya. Hamba akan mengabdikan jiwa dan raga
 hamba untuk Kediri. Kita akan gempur Calonarang Rangda Nateng Girah, 
kita hancurkan antek-antek, dan kita musnahkan Calonarang”. Demikian Ki 
Patih Madri memompa semangat junjungannya. Sungguh lega hati Sang Prabu 
mendengar apa yang diucapkan oleh Ki Patih Madri.
 
Raja Airlangga 
kemudian membuat keputusan untuk menggempur Calonarang Rangda Nateng 
Girah, dan mempercayakan kepada Ki Patih Madri sebagai pimpinan 
penyerangan.
Gugurnya Ki Patih Madri
 
Gugurnya Ki Patih Madri
Diceritakan Ki 
Patih Madri telah mengumpulkan tokoh masyarakat dan penduduk yang 
mempunyai ilmu kanuragan atau ilmu kewisesan. Mereka semua dikumpulkan 
di Istana dan diberikan pengarahan mengenai rencana penyerangan ke 
tempat Ratu Leak di Desa Girah menggempur Calonarang di malam hari.
Waktu yang ditetapkan untuk penyerangan telah tiba. Menjelang tengah malam mereka berangkat bersama dilengkapi pula dengan senjata tajam, sesikepan, gegemet-gegemet, dan juga sesabukan atau sarana magis pelindung diri.
 
Waktu yang ditetapkan untuk penyerangan telah tiba. Menjelang tengah malam mereka berangkat bersama dilengkapi pula dengan senjata tajam, sesikepan, gegemet-gegemet, dan juga sesabukan atau sarana magis pelindung diri.
Karena kesaktian Calonarang, maka serangan dari pihak
 Kediri yang dipimpin Ki Patih Madri telah diketahui sebelumnya. 
Sehingga Calonarang memerintahkan kepada seluruh sisya-sisyanya atau 
murid-muridnya untuk bersiaga di perbatasan Desa Girah. Calonarang 
beserta sisyanya telah bersiaga menyambut kedatangan para jawara Kediri 
yang akan menggempurnya. Mereka telah menggelar semua ilmu yang dimiliki
 dan telah menyengker atau memagari Desa Girah dengan penyengker gaib, 
sehingga kekuatan musuh tidak dapat menembus pertahanan tersebut.
 
Pada
 tengah malam, sampailah Ki Patih Madri dan para jawara Kediri di 
perbatasan Desa Girah. Mereka langsung menggelar ajian yang mereka 
miliki dan menyerang musuh yang telah menghadang. Serangan tersebut 
kemudian dihadang oleh para murid Calonarang yang dipimpin oleh Nyi 
Larung sehingga terjadilah pertempuran ilmu kanuragan dimalam hari yang 
sangat dasyat. 
Bola-bola api beterbangan di antara kedua belah pihak. 
Taburan cahaya gemerlapan aneka warna di angkasa yang saling berkelebat,
 berkejar-kejaran, dan saling berbenturan. Langit di Desa Girah pada 
malam itu bagaikan kejatuhan bintang dari langit yang jumlahnya ribuan. 
Memang sungguh-sungguh digjaya mereka semua. Tidak beberapa lama 
pertempuran di malam hari berlangsung, serangan dari para jawara Kediri 
dapat dipatahkan oleh ketangguhan dari ilmu yang dimiliki oleh 
murid-murid Calonarang, sedangkan Ki Patih Madri gugur dalam peperangan 
melawan Nyi Larung dan para jawara Kediri banyak yang tewas. 
![]()  | 
 Para jawara
 Kediri yang masih hidup berhamburan berlari meninggalkan arena 
pertempuran karena terdesak. Mereka berusaha untuk menyelamatkan diri. 
Setelah mengalami desakan dari pasukan leak murid-murid Calonarang, maka
 para jawara Kediri memutuskan untuk berbalik dan kembali ke Istana 
Kediri, serta melaporkan semuanya kehadapan Prabu Airlangga.
 
Ratu 
Leak Calonarang Rangda Nateng Girah Kekalahan pasukan Kediri menyebabkan
 pasukan leak Calonarang bergembira. Mereka semua tertawa ngakak yang 
suaranya nyaring dan keras membelah angkasa. Suaranya mengalun, 
melengking memenuhi angkasa dan berpantulan di antara bukit-bukit. 
Sehingga terasa mengerikan sekali suasananya pada malam hari tersebut. 
Mereka semua menari-nari di angkasa, berwujud bola-bola api saling 
berkejar-kejaran merayakan kemenangannya.
![]()  | 
| Rangda | 
Diceritakan mengenai 
perjalanan sisa-sisa pasukan Kediri yang kalah perang. Pada pagi hari 
mereka telah sampai di Istana Kediri. Segera mereka menghadap Sang Prabu
 dan melaporkan segala sesuatunya. Demikian pula dengan Sang Prabu yang 
telah menunggu semalaman dengan harap-harap cemas.
 
Salah seorang dari
 pasukan Kediri menghaturkan sembah kehadapan Sang Prabu “mohon ampun 
Paduka, hamba permaklumkan bahwa murid-murid Calonarang benar-benar 
teguh atau kuat. Pasukan Kediri tidak mampu mengalahkannya dan Ki Patih 
Madri gugur dalam peperangan dan banyak pasukan yang tewas. Hamba gagal 
dalam mengemban tugas yang Paduka titahkan. Atas kegagalan tersebut, 
hamba mohon ampun, dan siap menjalankan hukuman”. Demikian permakluman 
prajurit Kediri kehadapan Sang Prabu.
 
Raja Airlangga yang bijaksana 
kemudian bersabda “ Wahai prajuri Kediri yang gagah berani beserta semua
 pasukan, kalah menang dalam peperangan sudah menjadi hukumnya. Yang 
penting sekarang adalah aku minta engkau agar tidak surut kesetiaanmu 
terhadap Kediri. Teruskanlah kesetiaanmu terhadap Istana, terhadap 
Kerajaan Kediri. Janganlah berputus asa, karena masih ada waktu dan 
masih ada cara lain untuk menumpas Calonarang beserta dengan 
antek-anteknya. Gempur kembali Calonarang. 
Sang Prabu melanjutkan 
wejangannya. “Harus kalian ingat mengenai Swadharmaning ring payudhan 
atau kewajiban dalam pertempuran. Dalam Shanti Parwa disebutkan bahwa 
apabila mati dalam peperangan, maka darah yang mengalir muncrat akan 
menghapus segala dosamu. Dan Sang Jiwa atau Sang Atma akan menuju 
Indraloka. Itulah yang hendaknya diingat dan dijadikan pedoman. Semuanya
 itu adalah merupakan sebuah pengorbanan yang suci atau yadnya yang 
digolongkan yadnya utama”. Demikian Sang Prabu memberikan wejangan 
kepada Prajurit Kediri yang hampir putus asa karena kalah perang.
 
Mendengar
 wejangan tersebut, para pasukan Kediri merasakan hidup kembali dan 
bersemangat. Bagaikan diberikan kekuatan bebayon atau kekuatan tenanga 
dalam, sehingga semangat pasukan tumbuh kembali. Prajurit kemudian 
berkata “baiklah tuanku, sangat senang hamba mendegar wejangan tersebut.
 Sekarang hamba sadar dan yakin akan diri. Hamba akan membela 
mati-matian dan menyabung nyawa menghadapi Calonarang beserta dengan 
murid-muridnya”. Pernyataan Prajurit tersebut dibarengi oleh seluruh 
pasukan, dan disambut hangat oleh Raja Airlangga. “Baiklah kalau begitu,
 Aku sebagai Raja Kediri sangat menghargai kesetiaamu.
Buku Rahasia Ilmu Pengeleakan Calonarang
 
Buku Rahasia Ilmu Pengeleakan Calonarang
![]()  | 
| Empu Bharadah | 
Dengan
 kalahnya Patih Madri melawan Nyi Larung murid Calonarang, maka Raja 
Kediri sangat panik sehingga Raja Kediri memanggil seorang Bagawanta 
(Rohaniawan Kerajaan) yaitu Pendeta Kerajaan Kediri yang bernama Empu 
Bharadah yang ditugaskan oleh Raja untuk mengatasi gerubug (wabah) 
sebagai ulah onar si Ratu Leak Calonarang.
Empu Bharadah lalu 
mengatur siasat dengan cara Empu Bahula putra Empu Bharadah di tugaskan 
untuk mengawini Diah Ratna Mengali agar berhasil mencuri rahasia ilmu 
pengeleakan milik Janda sakti itu.
Empu Bahula berhasil mencuri buku tersebut berupa lontar yang bertuliskan aksara Bali yang menguraikan tentang teknik – teknik pengeleakan.
 
Empu Bahula berhasil mencuri buku tersebut berupa lontar yang bertuliskan aksara Bali yang menguraikan tentang teknik – teknik pengeleakan.
Setelah Ibu Calonarang 
mengetahui bahwa dirinya telah diperdaya oleh Empu Bharadah dengan 
memanfaatkan putranya Empu Bahula untuk pura–pura kimpoi dengan putrinya
 sehingga berhasil mencuri buku ilmu pengeleakan milik Calonarang.
 
Ibu
 Calonarang sangat marah dan menantang Empu Bharadah untuk perang 
tanding pada malam hari di Setra Ganda Mayu yaitu sebuah kuburan yang 
arealnya sangat luas yang ada di Kerajaan Kediri.
Pertempuran Penguasa Ilmu Hitam dengan Penguasa Ilmu Putih di Setra Ganda Mayu
 
Pertempuran Penguasa Ilmu Hitam dengan Penguasa Ilmu Putih di Setra Ganda Mayu
Dalam
 perang besar ini Raja Airlangga mengikutkan Pasukan Khusus Balayuda 
Kediri dalam menghadapi Calonarang dan pasukan leaknya.
 
Para Pasukan 
Balayuda Kediri yang terpilih sebanyak dua ratus orang yang dipimpin 
oleh Ki Kebo Wirang dan Ki Lembu Tal. Semua pasukan ini akan mengawal 
dan membantu Empu Bharadah dalam menumpas kejahatan yang dilakukan oleh 
Calonarang dan antek-anteknya.
 
Segala sesuatu perlengkapan segera 
dipersiapkan seperti senjata tajam berupa tombak, keris, klewang, dan 
lain-lain. Demikian pula dengan berbagai sarana pelindung badan yang 
gaib sebagai sarana penolak atau penempur leak, sarana kekebalan, 
semuanya diturunkan dari tempatnya yang pingit atau tempat rahasia. Yang
 tidak kalah pentingnya adalah persiapan mengenai perbekalan makanan dan
 minuman yang diperlukan selama penyerangan. 
Ketika semua persiapan 
dianggap rampung, maka mereka pun istrirahat agar tenaga cukup kuat 
untuk penyerangan besok. Keesokan harinya perjalanan penyerangan 
dilakukan, pasukan khusus atau pasukan pilihan dari Kediri yang disebut 
dengan Pasukan Balayuda dalam penyerangan tersebut mengawal Empu 
Bharadah. Sedangkan di depan sebagai pemimpin pasukan dipercayakan 
kepada Ki Kebo Wirang didampingi Ki Lembu Tal.
 
Tidak diceritakan 
perjalanan mereka, akhirnya rombongan Empu Bharadah dan pasukan Kediri 
sampai di pesisir selatan Desa Lembah Wilis. Di sana rombongan tersebut 
berhenti sejenak untuk beristirahat dalam persiapan untuk menuju ke Desa
 Girah. Semua pasukan kemudian menuju Setra Ganda Mayu yang berada di 
Wilayah Desa Girah.
 
Diceritakan kemudian Ibu Calonarang dirumahnya 
diiringi oleh para sisyanya semua melakukan penyucian diri dan mengayat 
atau memuja kehadapan Ida Betari mohon anugrah kesaktian. Mereka 
memusatkan pikiran dan memanunggalkan bayu atau tenaga, sabda atau 
suara, dan idep atau pikiran, memuja Ida Betari bersarana sekar manca 
warna atau bunga warna-warni, dengan disertai asep menyan majegau atau 
wangi-wangian yang dibakar yang asapnya membubung ke angkasa, 
seolah-olah menyampaikan niat Ibu Calonarang kehadapan Ida Betari. 
![]()  | 
Semua
 pekakas dan sarana pengleakan diturunkan dari tempatnya yang pingit 
atau tempat rahasia, dan masing-masing menggunakannya. Di hadapan mereka
 juga digelar tetandingan jangkep atau sarana sesajen lengkap sesuai 
dengan keperluan. Calonarang kemudian mulai memejamkan mata dan 
memusatkan pikiran. Ia tampak berkomat-kamit mengucapkan mantra sakti 
memohon anugrah kesaktian dan kesidian kehadapan Hyang Maha Wisesa, 
dengan harapan Empu Bharadah dan Balayuda Kediri dapat dikalahkan.
 
Setelah
 beberapa saat melakukan konsentrasi, maka sampailah pada puncaknya. 
Raja pengiwa pun telah dibangkitkan dan merasuk ke dalam sukma. 
Kedigjayaan atau kewisesan telah turun dan masuk ke dalam jiwa raga. 
Calonarang kemudian bangkit dan berkata kepada semua sisyanya 
“para 
sisyaku semuanya, permohonan kita kehadapan Hyang Betari telah 
terkabulkan dan telah mencapai puncaknya. Kesaktian telah kita 
bangkitkan semuanya, dan telah merasuk ke dalam jiwa dan raga. Kini 
saatnya kita bertarung menghadapi Empu Bharadah dan Balayuda Kediri. 
Kita akan pertahankan harga diri kita. Mampuskan semua orang-orang 
Kediri yang datang ke sini menyerang". 
Demikian perintah Calonarang 
kepada seluruh sisyanya. Suaranya ketika itu telah berubah menjadi besar
 dan menggema, dan bukan merupakan suaranya yang biasa. Kemudian 
Calonarangpun tertawa ngakak, dan terdengar menakutkan.
 
Semua sisya 
Calonarang telah nyuti rupa atau berubah wujud dan siap menyerang. Ada 
wujud bojog atau monyet yang siap menggigit, ada kambing siap nyenggot 
atau menanduk, ada sapi dan kuda yang siap ngajet atau menendang, ada 
kain kasa atau kain putih panjang yang siap menggulung dan membakar, ada
 bade atau menara pengusungan mayat yang siap membakar, ada babi 
bertaring panjang yang siap ngelumbih atau membanting dengan kepala, ada
 awak belig atau badan licin yang mukanya seperti umah tabuan atau 
sarang tawon. 
![]()  | 
| Rangda, Rarung dan Celuluk | 
Ada pula api bergulung-gulung yang siap membakar siapa 
saja yang menghadang. Semua pasukan leak kemudian keluar dari rumah 
Calonarang dalam rupa bola api beterbangan, kemudian menuju ke Setra 
Ganda Mayu tempat perjanjian pertempuran dengan Empu Bharadah dan 
pasukan Balayuda Kediri.
Melihat pasukan leak dengan beraneka rupa 
datang, pasukan Kediri menjadi kaget dan was-was dan ada yang ketakutan.
 Semuanya bersiap-siap dan merapatkan diri. Demikian pula dengan Ki Kebo
 Wirang dan Ki Lembu Tal, mereka berdua sangat waspada serta selalu 
berada di dekat Empu Bharadah untuk mengawalnya.
 
Empu Bharadah tidak 
sedikitpun gentar melihat kawanan leak tersebut, bahkan semangat untuk 
bertempur semakin membara. Sambil juga Empu Bharadah mengucap mantra 
sakti Pasupati. Dilengkapi pula dengan sarana sesikepan, sesabukan, 
rerajahan kain, dan pripian tembaga wasa atau lempengan tembaga. Sangat 
ampuh mantra sakti Pasupati tersebut. Empu Bharadah membawa pusaka sakti
 berupa sebuah keris yang bernama Kris Jaga Satru.
Calonarang Tewas
 
Calonarang Tewas
Pertarunganpun
 terjadi dengan sangat seram dan dahsyat antara penguasa ilmu hitam 
yaitu Calonarang dibantu para sisya atau murid-muridnya dengan penguasa 
ilmu putih yaitu Empu Bharadah dibantu Pasukan Balayuda Kediri, di Setra
 Ganda Mayu.
 
Pertempuran berlangsung sangat lama sehingga sampai 
pagi, dan karena ilmu hitam mempunyai kekuatan hanya pada malam hari 
saja, maka setelah siang hari Ibu Calonarang akhirnya tidak kuat melawan
 Empu Bharadah.
 
Calonarang terdesak dan sisyanya banyak yang tewas 
dalam pertempuran melawan Empu Bharadah dan Pasukan Balayuda Kediri. 
Mengetahui dirinya terdesak, Calonarang seperti biasa segera menggelar 
kesaktian pengiwanya. Ia segera berubah wujud menjadi seekor burung 
garuda berbulu emas, melesat ke udara, dan bersembunyi di balik awan. 
Ketika itu, Empu Bharadah segera masuk ke dalam rumah Calonarang . 
Didapatinya rumah Calonarang telah kosong, tak ada siapa-siapa. Pasukan 
Balayuda Kediri mengurung rumah Calonarang.
 
Empu Bharadah kemudian 
berteriak :  
“Hai kau Calonarang pengecut, di mana gerangan engkau 
bersembunyi. Sudah berwujud apa engkau sekarang, aku akan hadapi. Aku 
menantangmu, ayolah segera tunjukkan batang hidungmu”. 
Setelah berkata 
demikian, tiba-tiba ada jawaban dari angkasa. Rupanya Calonarang sudah 
bersembunyi dari tadi, tanpa sepengetahuan pasukan Kediri. Calonarang 
berkata : 
“Hai kau Empu Bharadah, dimana bersembunyi rajamu". 
Mendengar 
ejekan si garuda tersebut dari udara membuat Empu Bharadah menjadi naik 
darah. Segera Empu Bharadah memerintahkan kepada Ki Kebo Wirang untuk 
membidikan senjata tersebut ke arah si Garuda Calonarang. 
Namun ketika 
itu, Ki Kebo Wirang menjadi kebingungan karena musuh yang akan dibidik 
tidak kelihatan. Hanya suaranya saja yang berkoar-koar. Ditambah lagi 
dengan adanya kilat dan guntur yang menggelegar di angkasa. Semakin 
menyulitkan untuk membidik si Garuda Calonarang.
 
Menghadapi situasi 
demikian, Empu Bharadah mencoba untuk memikirkan sebuah daya upaya. Empu
 Bharadah kemudian memerintahkan kepada Ki Lembu Tal sebagai umpan, agar
 si garuda mau keluar dari persembunyiannya. 
Ki Lembu Tal mencoba untuk 
mencari tempat yang agak terbuka. Mereka menari-nari sambil 
mengibas-ngibaskan senjatanya ke udara sebagai pertanda menantang. Ki 
Lembu Tal mengejek si garuda :  
“Hai engkau Calonarang, kenapa engkau 
bersembunyi. Ayo turun, akan aku potong lehermu, akan aku cincang 
engkau, bila perlu aku jadikan burung garuda panggang. Hai kau 
Calonarang, kalau memang engkau sakti mengapa engkau bersembunyi di 
tempat yang tinggi begitu. Kalau engkau mau, kau boleh hisap pantatku”. 
Demikian ejekan Ki Lembu Tal yang tidak senonoh, sambil membuka kainnya 
dan memperlihatkan pantatnya ke arah datangnya suara Calonarang.
 
Mendengar
 dan melihat ejekan Ki Lembu Tal, menyebabkan Calonarang menjadi naik 
darah, dan segera keluar dari persembunyiannya. Si garuda Calonarang 
dengan secepat kilat terbang dan menyambar Ki Lembu Tal. Pada saat si 
garuda terbang menyambar Ki Lembu Tal, ketika itu pula Empu Bharadah 
membidikkan senjata pusaka Jaga Satru dan menembakkannya ke arah sang 
garuda. Si garuda jelmaan Calonarang tersebut terkena tembakan senjata 
Jaga Satru dan jatuh tersungkur ke tanah. 
Segera si garuda mengambil 
wujud kembali menjadi manusia sosok Calonarang. Ratu Leak Calonarang 
yang sakti mandraguna tidak berdaya dengan kesaktian senjata pusaka Jaga
 Satru Empu Bharadah. Semua pasukan Balayuda Kediri segera mendekati 
Calonarang yang tidak berdaya dan kemudian Calonarang menghembuskan 
nafas terakhir di Setra Ganda Mayu.
![]()  | 
Dengan meninggalnya Ibu Calonarang maka bencana gerubug (wabah) yang melanda Kerajaan Kediri bisa teratasi.
Sumber : Forum Ka*k** Menguak Misteri Bali
















No comments:
Post a Comment