Sendratari Calonarang adalah salah satu kesenian Bali yang termasuk
dalam katagori kesenian untuk kepentingan ritual yang sakral (wali)
tentu saja tidak setiap saat dipentaskan, biasanya pada saat-saat
tertentu saja sebagai sarana untuk "melukat" (membersihkan desa dalam konteks spiritualitas).
Dramatari
ritual magis yang melakonkan kisah-kisah yang berkaitan dengan ilmu
sihir, ilmu hitam maupun ilmu putih, dikenal dengan Pangiwa / Pangleakan dan Panengen.
Lakon-lakon
yang ditampilkan pada umumnya berakar dari cerita Calonarang, sebuah
cerita semi sejarah dari zaman pemerintahan raja Airlangga di Kahuripan
(Jawa timur) pada abad ke IX. Karena pada beberapa bagian dari
pertunjukannya menampilkan adegan adu kekuatan dan kekebalan
(memperagakan adegan kematian bangke-bangkean, menusuk rangda dengan
senjata tajam secara bebas) maka Calonarang sering dianggap sebagai
pertunjukan adu kesaktian (batin).
Pertunjukan Sendratari Calonarang |
Dramatari ini pada intinya merupakan perpaduan dari tiga unsur penting, yakni Babarongan diwakili oleh Barong Ket, Rangda dan Celuluk, Unsur Pagambuhan diwakili oleh Condong, Putri, Patih Manis (Panji) dan Patih Keras (Pandung) dan Palegongan diwakili oleh Sisiya-sisiya (murid-murid).
Tokoh penting lainnya dari dramatari ini adalah Matah Gede dan Bondres.
Pertunjukan
Calonarang bisa diiringi dengan Gamelan Semar Pagulingan, Bebarongan,
maupun Gong Kebyar. Dari segi tempat pementasan, pertunjukan Calonarang
biasanya dilakukan dekat kuburan (Pura Dalem) dan arena pementasannya
selalu dilengkapi dengan sebuah balai tinggi (trajangan atau tingga) dan
pohon pepaya.
Pertunjukan "Tari Barong" yang sering dipentaskan untuk umum sebagai sarana pentas (balih-balihan) memiliki beberapa unsur yang hampir menyerupai sendratari Calonarang, namun nilai sakralnya yang berkurang.
Tari Barong |
Kisah ceritanya adalah sebagai berikut :
pementasan sendratari calonarang |
Di Kerajaan Kediri
pada masa pemerintahan Erlangga yaitu didesa Dirah ada sebuah Perguruan
Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan yang dipimpin oleh seorang janda yang
bernama Ibu Calonarang, mempunyai murid – murid yang semuanya perempuan
dan diantaranya ada empat murid yang ilmunya sudah senior antara lain :
- Nyi Larung.
- Nyi Lenda.
- Nyi Lending.
- Nyi Sedaksa.
- Nyi Lenda.
- Nyi Lending.
- Nyi Sedaksa.
Calonarang juga mempunyai anak kandung
seorang putri yang bernama Diah Ratna Mengali, berparas cantik jelita,
tetapi putrinya tidak ada satupun pemuda yang melamarnya.
Ilustrasi Calonarang dan putrinya Ratna Mangali by Devianart |
Karena Diah Ratna Mangali diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada hukum keturunan yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu, begitulah pengaduan dari Nyi Larung yaitu salah satu muridnya yang paling dipercaya oleh Ibu Calonarang.
Mendengar pengaduan
tersebut, tampak nafas Ibu Calonarang mulai meningkat, pandangan matanya
berubah seolah-olah menahan panas hatinya yang membara.
Pengaduan
tersebut telah membakar darah Ibu Calonarang dan mendidih, terasa
muncrat dan tumpah ke otak. Penampilannya yang tadinya tenang, dingin
dan sejuk, seketika berubah menjadi panas, gelisah. Kalau diibaratkan
Sang Hyang Wisnu berubah menjadi Sang Hyang Brahma, air berubah menjadi
api. Tak kuasa Ibu Calonarang menahan amarahnya. Tak kuat tubuhnya yang
sudah tua tersebut menahan gempuran fitnah yang telah ditebar oleh
masyarakat Kerajaan Kediri.
Ibu Calonarang sangat sedih bercampur
berang, sedih karena khawatir putrinya bakal jadi perawan tua, itu
berarti keturunannya akan putus dan tidak bisa pula menggendong cucu,
berang karena putrinya dituduh bisa ngeleak.
Ibu Calonarang berkata kepada Nyi Larung :
“Hai Nyi Larung, penghinaan ini bagaikan air kencing
dan kotoran ke wajah dan kepalaku. Aku akan membalas semua ini, rakyat
Kediri akan hancur lebur, dan luluh lantak dalam sekejap. Semua
orang-orangnya akan mati mendadak. Laki-laki, perempuan, tua muda,
semuanya akan menanggung akibat dari fitnah dan penghinaan ini. Kalau
tidak tercapai apa yang aku katakan ini, maka lebih baik aku mati,
percuma jadi manusia. Kalau Ibu Calonarang ini tidak melakukan balas
dendam maka hati ini tidak akan merasa tentram”.
Demikian kata-kata
Ibu Calonarang yang sangat mengerikan kalau seandainya hal ini menjadi
kenyataan. Nyi Larung kemudian menyahut dan bertanya “Kalau demikian
niat Guru, bagaimana kita bisa melakukan hal tersebut”. segera dijawab
oleh Ibu Calonarang. “Kau Nyi Larung, ketahuilah, jangan terlalu
khawatir akan segala kemampuanku. Aku Ibu Calonarang bukanlah orang
sembarangan dan murahan. Kalau tidak yakin dengan diri, maka aku tidak
akan sesumbar begitu. Biar mereka tersebut merasakan akibat dari segala
perbuatan yang telah mereka lakukan terhadap anakku.
Kau Nyi Larung,
Ibu minta agar kau mengumpulkan semua murid-muridku supaya segera masuk
ke Pasraman Pengeleakan. “Tunggu sampai tengah malam nanti. Aku akan
menurunkan segala ilmu kewisesan yang aku miliki kepada kalian semua.
Karena sekarang hari masih terang dan sore, lebih baik engkau semua
melakukan pekerjaan seperti biasanya. Aku akan mempersiapkan segala
sesuatunya. Nanti malam kita akan berkumpul lagi membicarakan masalah
tersebut, dan ingat tidak ada yang boleh tahu mengenai apa yang kita
akan lakukan ini, kita akan membuat Kerajaan Kediri gerubung yaitu
berupa serangan wabah penyakit yang sulit diobati yang dapat mematikan
rakyatnya dalam waktu singkat.
Demikian Ibu Calonarang menutup
pembicaraannya pada sore hari tersebut, dan semua kembali melakukan
kegiatan sebagaimana mestinya.
Gerubug Di Kerajaan Kediri
Gerubug Di Kerajaan Kediri
Diceritakan
Rakyat Kerajaan Kediri di siang harinya yang ramai seperti biasanya.
Masyarakatnya sebagian besar hidup dari bertani di sawah dengan menanam
padi dan palawija. Anak-anak muda semuanya riang gembira bermain sambil
mengembalakan sapi dan bebek di sawah. Mereka riang gembira, menemani
orang tuanya yang sedang membajak sawah. Ada pula masyarakat yang
bekerja sebagai tukang membuat rumah, pondok, bangunan suci seperti pura
dan sanggah, atau membuat angkul-angkul atau pintu gerbang, dan
lain-lain.
Bagi kaum perempuan dan yang bekerja sebagai pedagang dengan
menjual kue, nasi, kopi dan ada pula yang menenun kain untuk keperluan
sendiri. Ada pula dari golongan pande bekerja khusus membuat perabotan
pisau, sabit, parang, cangkul, keris, dan perabotan dari besi lainnya.
Bagi yang mempunyai waktu luang yang laki-laki biasanya diisi dengan
mengelus-elus ayam aduan, dan bagi yang perempuan digunakan untuk
mencari kutu rambut.
Tidak ada terasa hal-hal aneh atau pertanda aneh
di siang hari tersebut. Kegiatan masyarakat berlangsung dari pagi
sampai sore, bahkan sampai malam hari. Pada malam hari masyarakat yang
senang matembang atau bernyanyi melakukan kegiatannya sampai malam.
Demikian pula dengan sekaa gong latihan sampai malam di Balai Banjar.
Suasananya nyaman, tentram, dan damai sangat terasa ketika itu.
Setelah
tengah malam tiba, semua masyarakat telah beristirahat tidur.
Suasananya menjadi sangat gelap dan sunyi senyap, ditambah lagi pada
hari tersebut adalah hari Kajeng Kliwon. Suatu hari yang dianggap kramat
bagi masyarakat. Masyarakat biasanya pantang pergi sampai larut malam
pada hari Kajeng Kliwon. Karena hari tersebut dianggap sebagai hari yang
angker. Sehingga penduduk tidak ada yang berani keluar sampai larut
malam.
Ketika penduduk Rakyat Kediri tertidur lelap di tengah malam,
ketika itulah para murid atau sisya Ibu Calonarang yang sudah menjadi
leak datang ke Desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri. Sinar beraneka
warna bertebaran di angkasa. Desa-desa pesisir bagaikan dibakar dari
angkasa. Ketika itu, penduduk desa sedang tidur lelap. Kemudian dengan
kedatangan pasukan leak tersebut, tiba-tiba saja penduduk desa merasakan
udara menjadi panas dan gerah. Angin dingin yang tadinya mendesir
sejuk, tiba-tiba hilang dan menjadi panas yang membuat tidur mereka
menjadi gelisah.
Para anak-anak yang gelisah, dan terdengar tangis para
bayi di tengah malam. Lolongan anjing saling bersahutan seketika.
Demikian pula suara goak atau burung gagak terdengar di tengah malam.
Ketika itu sudah terasa ada yang aneh dan ganjil saat itu. Ditambah lagi
dengan adanya bunyi kodok darat yang ramai, padahal ketika itu adalah
musim kering. Demikian pula tokek pun ribut saling bersahutan
seakan-akan memberitahukan sesuatu kepada penduduk desa. Mendengar dan
mengalami suatu yang ganjil tersebut, masyarakat menjadi ketakutan, dan
tidak ada yang berani keluar.
Endih atau api jadi-jadian yang
berjumlah banyak di angkasa kemudian turun menuju jalan-jalan dan
rumah-rumah penduduk desa. Api sebesar sangkar ayam mendarat di
perempatan jalan desa, dan diikuti oleh api kecil-kecil warna-warni.
Setelah itu para leak yang tadinya terbang berwujud endih, kemudian
setelah di bawah berubah wujud menjadi leak beraneka rupa, dan
berkeliaran di jalan-jalan desa.
ilustrasi |
Ketika malam itu, ada seorang
masyarakat memberanikan diri untuk mengintip dari balik jendela
rumahnya. Untuk mengetahui situasi di luar rumah. Namun apa yang
dilihatnya? Sangat terkejut orang tersebut menyaksikan kejadian di luar.
Orang tersebut, karena saking takutnya, segera ia masuk ke dalam rumah
dan mengunci pintunya rapat-rapat, serta segera memohon kehadapan Hyang
Maha Kuasa agar diberikan perlindungan. Kemudian orang tersebut
mengalami sakit ngeeb atau ketakutan yang berlebihan dan tidak mau
bicara.
Para murid atau sisya Ibu Calonarang yang berjumlah tiga
puluh empat orang ditambah dengan empat orang muridnya yang sudah senior
yaitu Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, dan Nyi Sedaksa, semua sudah
berada di desa pesisir. Malam yang sangat gelap kemudian ditambah dengan
hujan gerimis yang memunculkan bau tanah yang angid, mambuat para leak
menjadi semakin bersuka ria. Beberapa bola api bertebaran di angkasa
berkejar-kerjaran dan menari-nari.
Calonarang dan para muridnya |
Monyet-monyet besar, anjing bulu
kotor, dan babi bertaring panjang berkeliaran di jalan-jalan sepanjang
desa wilayah pesisir bercanda bersuka ria. Leak kambing, gegendu kerbau,
gegendu jaran tampak jalan-jalan mengitari Kerajaan Kediri. Demikian
pula dengan sosok Leak Celuluk yang berkelebat-kelebat dan bersandar di
angkul-angkul rumah penduduk.
celuluk |
Leak yang berwujud kreb kasa atau kain
putih panjang bergulung-gulungan tampak melintang di jalanan. Di
perempatan dan pertigaan jalan Desa, sosok Leak berwujud bade atau
menara pengusungan mayat sedang menari-nari memenuhi jalanan. Semua leak
tersebut menjalankan tugas seperti apa yang diperintahkan oleh gurunya
yakni Ibu Calonarang.
Sungguh-sungguh seram memang pada malam itu.
Penduduk desa tidak ada yang berani berkutik, apalagi keluar rumah. Para
leak di malam itu telah menyebarkan penyakit grubug di desa-desa
wilayah pesisir Kerajaan Kediri. Setelah semalaman para leak berpesta
pora, maka hari telah menjelang pagi. Tiba saatnya para Leak untuk
kembali ke wujud semula. Karena begitulah hukumnya sebagai leak. Waktu
mereka adalah di malam hari. Apabila mereka melanggar hukum tersebut
maka mereka akan mendapatkan bahaya. Ketika hari menjelang pagi para
leak pun kembali ke tempatnya semula, dan pulang ke rumah. Demikian pula
dengan Ibu Calonarang beserta Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi dan Nyi
Sedaksa kembali pulang ke rumah setelah pesta pora di malam hari.
Sekarang mereka hanya tinggal menunggu hasil dari kerja mereka semalam.
Diceritakan
keesokan harinya penduduk desa bangun pagi-pagi. Mereka ramai
menceritakan keanehan-keanehan dan keganjilan-keganjilan yang terjadi
pada malam harinya. Semuanya menceritakan apa yang mereka rasakan atau
apa yang mereka sempat saksikan malam itu dirumah masing-masing. Namun
sedang asyiknya mereka bercerita, tiba-tiba saja ada seorang penduduk
yang menjerit minta tolong. Orang tersebut mengatakan salah seorang
keluarganya tiba-tiba saja sakit perut, muntah-muntah, dan
mencret-mencret.
Ketika mau memberikan pertolongan kepada penduduk di
sebelah Barat tersebut, tiba-tiba saja tetangga di sebelah Timur
menjerit minta tolong ada salah seorang keluarganya yang muntah dan
mencret. Pagi itu, masyarakat desa menjadi panik. Karena mendadak
sebagian penduduk mengalami muntah dan mencret. Bahkan pagi itu, ada
beberapa yang telah meninggal. Beberapa lagi belum ada yang sempat
diberi obat, tiba-tiba sudah meninggal.
Demikian semakin panik
masyarakat di desa. Segera saja yang meninggal dikuburkan di setra atau
tempat pemakaman mayat, namun ketika pulang dari setra, tiba-tiba saja
yang tadinya ikut mengubur menjadi sakit dan meninggal. Demikian
seterusnya. Penduduk desa dihantui oleh bahaya maut. Seolah-olah
kematian ada di depan hidung mereka. Sungguh mengerikan pemandangan di
desa-desa wilayah pesisir Kerajaan Kediri ketika itu. Kerajaan Kediri
gempar, sehari-hari orang mengusung mayat kekuburan dalam selisih waktu
yang sangat singat.
Menghadapi situasi demikian beberapa penduduk dan
prajuru desa mencoba untuk menanyakan kepada para balian atau dukun
untuk minta pertolongan. Para balian pun didatangkan ke desa-desa yang
kena bencana wabah gerubug. Ternyata mereka juga tidak dapat berbuat
banyak menghadapi penyakit gerubug yang dialami penduduk desa. Bahkan,
si balian atau dukun yang didatangkan tersebut mengalami mutah berak dan
meninggal. Setiap hari kejadian tersebut terus berlangsung. Penduduk
desa menjadi bingung dan panik.
Ada yang berkehendak untuk mengungsi dan
menghindar dari grubug tersebut. Mereka berbondong-bondong meninggalkan
desanya. Namun ketika sampai di batas desa, mereka itu mengalami muntah
berak dan meninggal seketika. Melihat keadaan seperti itu penduduk yang
masih hidup menjadi semakin ketakutan. Ketika malam hari, mereka semua
tidak ada yang berani tidur sendirian, dan tidak berani keluar rumah.
Lolongan anjing tak henti-hentinya di malam hari. Burung gagak, katak
dongkang, semuanya ribut saling bersahutan.
Adanya musibah yang
menakutkan bercampur dengan sedih, para penduduk mencoba untuk berpasrah
diri dan menyerahkan semuanya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Setiap
saat mereka memuja dan memohon kehadapan beliau agar bencana grubug ini
segera berakhir, dan semua penduduk yang masih hidup diberkahi
keselamatan dan kekuatan.
Di samping itu perlindungan-perlindungan magis
dipasang di depan pintu masuk pekarangan dan pintu rumah. Sesuai dengan
petunjuk orang pintar atau sesuai dengan kebiasaan para tetuanya
terdahulu. Penduduk memasang sesikepan atau pelindung magis seperti daun
pandan berduri yang ditulisi tapak dara atau tanda palang dari kapur
sirih, berisi bawang merah, bawang putih, jangu, juga benang tri datu
yaitu benang warna merah, putih, hitam, dan pipis bolong atau uang
kepeng. Jadi pada dasarnya semua dilakukan untuk menolak penyakit, dan
memohon perlindungan kehadapan Hyang Maha Kuasa.
Setelah berberapa
hari mengalami kepanikan, kebingungan dan ketakutan, akhirnya para
prajuru desa atau Pengurus Desa, para penglingsir atau tetua, dan para pemangku, mengadakan pertemuan di salah satu Balai Banjar di Desa Girah.
Pada intinya mereka membicarakan mengenai masalah atau penyakit gerubug
yang menyerang desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Kalau
seandainya masalah ini dibiarkan begitu saja, sudah pasti penduduk desa
akan habis semuanya.
Mereka tetap berharap agar semua masyarakat
meningkatkan astiti bhaktinya atau pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa atau Tuhan agar diberikan keselamatan, kesehatan,
perlindungan, dan umur panjang. Disamping itu pula para prajuru desa
para penglingsir atau tetua desa beserta dengan para pemangku sepakat
untuk melaporkan masalah ini kehadapan Prabu Airlangga Raja Kediri.
Mereka berencana memohon kehadapan Raja Airlangga agar beliau berkenan
untuk datang ke desa-dewa wilayah pesisir Kerajaan Kediri meninjau
rakyatnya yang sedang ditimpa musibah penyakit atau gerubug. Karena
beliau sebagai penguasa atau sebagai Raja Kediri berhak tahu dan wajib
untuk melindungi rakyatnya dari bencana. Demikian kesepakatan mereka dan
merencanakan akan berangkat ke Istana besok pagi.
Ketika para tetua
desa dan prajuru disertai dengan para pemangku masih berada di Bale
pertemuan, tiba-tiba saja muncul seseorang yang bertubuh tinggi, kepala
kribo, berkumis tebal dan brewok. Orang ini berjalan sempoyongan, dengan
mata merah, dan bicaranya ngawur.
Rupanya orang ini dalam keadaan
mabuk. Orang tersebut datang di bale pertemuan dan berkata bahwa anaknya
telah meninggal karena muntah mencret. Pemabuk itu kemudian berkata : "
mana Leak Calonarang yang telah memakan anakku, akan aku santap bola
matanya mentah-mentah". Demikian orang tersebut sesumbar dihadapan para
sesepuh desa. Ketika setelah mengatakan sesumbar tersebut Si Brewok
tiba-tiba saja muntah mencret tak tertahankan, dan akhirnya tewas di
tempat.
Setelah beberapa saat Si Brewok tergeletak, kemudian para
tetua desa tersebut menjadi teringat dengan kejadian yang terjadi
beberapa waktu lalu ketika di Desa Girah. Mereka baru ingat bahwa Si
Brewok inilah yang menjadi biang keladi dari kejadian yang menimpa Diah
Ratna Manggali anak Ibu Calonarang. Bersama-sama dengan orang banyak, Si
Brewok ini telah membuat fitnah Diah Ratna Mengali bisa ngeleak karena
Ibunya Calonarang adalah orang sakti dan bisa ngeleak.
Jangan-jangan hal
itu yang menjadi penyebab dari penyakit gerubug yang melanda desa-desa
pesisir wilayah Kerajaan Kediri sekarang ini. Karena Calonarang merasa
tersinggung dan terhina tidak akan tinggal diam. Mungkin saja ia akan
membalas dendam sesuai dengan kemampuannya. Apalagi Calonarang adalah
seorang yang sangat sakti dan memiliki murid yang sangat banyak.
Sehingga dengan ilmu yang dimiliki mereka mencoba untuk menghancurkan
desa-desa di Kerajaan Kediri dengan menebar penyakit gerubug. Rupanya
mereka yang ada di sana mempunyai pikiran yang sama, dan sepakat untuk
segera melaporkan hal tersebut kehadapan Prabu Airlangga Raja Kediri.
Keesokan
harinya para prajuru desa beserta rombongan berangkat menuju Istana
Kediri. Sangat cepat perjalanan mereka, sehingga tidak diceritakan
sampailah rombongan tersebut di bencingah atau alun-alun Istana Raja.
Ketika di Istana rombongan tersebut menyaksikan suatu keadaan yang
tenang, damai, dan biasa saja, jauh dari kesusahan, kalau dibandingkan
dengan apa yang terjadi di desa sekarang ini.
Di bencingah puri tampak
sekelompok masyarakat yang sedang duduk-duduk di bawah rimbunnya daun
beringin yang sangat besar yang tumbuh di becingah, seolah-olah
memayungi rakyat Kediri dari terik sinar matahari. Bangsingnya atau
akarnya yang menjulur sampai menyentuh tanah seolah-olah menjulurkan
tangannya untuk menolong rakyat Kediri yang kesusahan. Mereka seperti
biasa yang laki-laki beristirahat, sambil mengecel atau mengelus ayam
aduan. Di sampingnya tampak berderet ayam aduan dengan beraneka warna,
dan mekruyuk atau berkokok saling bersahutan. Disana, ada pula dagang
kopi, dagang kue, dagang nasi, dengan be guling nyodog atau babi guling
yang utuh dan diletakkan di atas meja dagangan.
Rombongan tersebut
disapa oleh orang-orang yang ada di bencingah. Mereka kemudian segera
masuk ke dalam Istana Raja melalui pemedalan atau pintu keluar candi
bentar yang megah, disandingkan dengan bale kulkul yang menjulang
tinggi, dan bale bengong yang tampak mempesona, membuat mereka menjadi
klangen atau kagum. Di hulu sebelah timur laut terdapat pemerajan puri
atau tempat suci keluarga Raja yang sangat disucikan.
Mereka kemudian
menghadap Prabu Airlangga di Bale penangkilan atau balai penghadapan.
Setelah memberikan penghormatan kehadapan Sang Prabu, rombongan tersebut
kemudian menjelaskan segala sesuatu maksud dan tujuannya mengahap ke
Istana. Dijelaskan pula secara panjang lebar mengenai masalah yang
sedang melanda desa-desa pesisir wilayah Kerajaan Kediri. Mereka
kemudian memohon agar Sang Prabu berkenan untuk meninjau ke desa-desa.
Demikian hatur mereka semua kehadapan Sang Prabu. Kemudian Sang Prabu
menjawab dengan kata-kata yang agak berat, dan dengan roma muka yang
agak tegang ketika itu.
“Kalau begitu keadaannya, penyebar gerubug di desa-desa wilayah pesisir tidak lain dan tidak bukan adalah Ibu Calonarang. Aku tidak akan meninjau ke desa lagi. Tetapi aku akan segara berupaya untuk menyelesaikan masalah kalian, dan menghadapi Calonarang yang sakti tersebut”.
“Pengerusakan dan penyebaran penyakit di desa-desa oleh Calonarang sebenarnya adalah tantangan langsung bagiku sebagai penguasa di Kerajaan Kediri. Aku akan menghadapi bagaimanapun ririh atau saktinya Calonarang. Calonarang sangat berani kepadaku, dan sangat besar dosanya karena telah membunuh banyak rakyatku yang tidak berdosa. Sangat besar dosanya terhadap kerajaan, sehingga orang tersebut harus mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal”.
Demikian sabda Raja
Kediri yang menabuh genderang perang terhadap Calonarang.
Sang Prabu
juga menyampaikan pesan kepada rombongan Desa Girah sesampai di rumah
nanti, beritahukan kepada seluruh rakyatku semuanya. Tenanglah,
bersabarlah dan selalulah memuja kebesaran Ida Betara Tri Sakti yang
berstana di Pura Kayangan Tiga. Selalulah berjaga-jaga di perbatasan
desa sambil menghidupkan api obor sebagai penerangan dan sekaligus mohon
perlindungan kehadapan Hyang Betara Brahma.
Sebelum itu jangan lupa
menghaturkan canang atau sesajen di sanggah atau tempat suci keluarga
masing-masing agar para leluhur kita juga ikut membantu melindungi dari
bahaya ini. Kemudian mohonlah sesikepan atau sarana magis yang bersarana
bawang putih, jangu, benang tri datu, dan pipis bolong, sebagai sarana
penolak leak. Demikian perintah dan sekaligus pesan Raja Kediri kepada
rakyat beliau yang sedang ditimpa bencana gerubug dan salanjutnya para
penghadap tersebut diijinkan untuk pamit kembali pulang. Tidak
diceritakan perjalanan mereka, maka sampailah rombongan tersebut di
rumah, dan segera memberitahukan apa yang menjadi titah Raja Kediri.
Raja Kediri Murka
Raja Kediri Murka
Kembali
diceritakan Prabu Airlangga Raja Kediri. Sepeninggalan rombongan Desa
Girah, maka beliau sendirian duduk termenung di bale penangkilan.
Pandangannya menerawang jauh kemana-mana, tangannya dikepalkan, dan
tampak gelisah. Duduk bangun, demikianlah Sang Prabu sendirian di
Istana. Tampaknya Sang Prabu tak kuasa menahan amarah dan panas hati
beliau akibat ulah Calonarang. Sangat menakutkan sekali perangai beliau
ketika itu. Diibaratkan macan gading atau harimau kuning yang akan
menerkam mangsanya.
Tak seorang pun parekan atau punakawan di puri atau
istana yang berani menyapa beliau. Istri dan parekan atau punakawan di
puri atau istana semuanya terdiam takut melihat gelagat Sang Prabu yang
lagi murka. Tidak ada yang berani menghampiri dan menemani beliau ketika
itu. Suguhan wedang atau kopi dan juga hidangan yang lainnya tidak
disentuh sama sekali. Pikiran beliau hanya tertuju kepada upaya
bagaimana mengalahkan Calonarang yang sakti tersebut.
Patih Madri |
Ketika hari
menjelang siang, Sang Prabu belum juga beranjak dari tempat beliau duduk
sejak pagi. Kemudian secara tak disangka-sangka datang Ki Patih Madri
menghadap Sang Prabu ke Istana. Ia adalah seorang tabeng dada atau
pengawal Istana. Ki Patih Madri berperawakan tinggi besar, pintar ilmu
silat atau bela diri, dan menguasai beberapa ilmu kanuragan. Ia sangat
berpengaruh di kalangan orang-orang di Kerajaan Kediri, namun ia sendiri
berpenampilan sangat sederhana, polos, dan sangat setia kepada Istana
terutama kehadapan junjungannya yakni Prabu Airlangga Raja Kediri.
Sangat
gembira sekali perasaan Sang Prabu ketika Ki Patih Madri muncul di
Istana, dan segera Sang Prabu menyuruhnya mendekat untuk diajak bertukar
pikiran. Bagaikan diperciki embun pagi yang sejuk perasaan Raja
Airlangga ketika Ki Patih Madri datang pada saat yang diperlukan sekali.
Sambil menikmati hidangan kopi yang telah disuguhkan, Sang Prabu
berkata kepada Ki Patih Madri :
“Aku hari ini sangat kesal, marah dan
bercampur sedih dalam hatiku. Yang menyebabkan adalah ulah onar
Calonarang yang telah menebar penyakit gerubug di desa-desa pesisir
wilayah Kerajaan Kediri. Banyak rakyatku yang sakit dan meninggal di
sana. Ia ingin menghancurkan Kerajaan Kediri, serta menghancurkan
kekuasaanku. Sekarang karena kebetulan sekali Patih Madri datang ke
Istana, maka aku ingin mendapatkan masukan dari engkau mengenai masalah
yang menimpa desa tersebut. Bagaimana caranya menumpas dan melenyapkan
Calonarang beserta sisya-sisyanya atau murid-muridnya yang telah berbuat
onar tersebut. Sebab kalau tidak ditangani segera, maka rakyat desa
Kerajaan Kediri akan habis, bahkan ia akan merencanakan untuk
menghancurkan Kerajaan Kediri secara keseluruhan”.
Demikian kata
pembukuan yang cukup panjang dari Sang Prabu kepada Ki Patih Madri.
Mendengar semua itu, merasa kaget Ki Patih Madri, sebab sebelumnya ia sama sekali tidak mendengar adanya masalah ini. Ki Patih Madri berpikir sejenak, kemudian menjawab apa yang dikatakan Sang Prabu. “Mohon ampun Paduka, tidak patut rasanya hamba sebagai patih yang jugul punggung atau sangat bodoh memberikan masukan kehadapan Paduka. Namun atas titah Paduka, maka hamba akan mencoba untuk ikut urun pendapat mengenai masalah ini. Namun hamba bagaikan nasikin segara atau membuang garam ke laut begitulah ibaratnya”.
Lebih lanjut Ki Patih Madri menyampaikan haturnya kehadapan
Sang Prabu “Kalau mendengar tingkah laku Calonarang tersebut, maka
inilah yang disebut dalam sastra agama sebagai Atharwa yang artinya
melakukan pembunuhan yang sangat kejam terhadap orang lain yang tidak
berdosa dengan menggunakan Ilmu Hitam. Mereka telah menebar cetik atau
racun niskala di wilayah desa. Ini pula digolongkan sebagai Himsa Karma
yakni perbuatan membunuh makhluk lain secara sewenang-wenang. Para
pelaku dari semua ini harus dihukum berat dan setimpal”. Demikian hatur
Ki Patih Madri kehadapan Sang Prabu.
Kemudian Ki Patih Madri menambahkan
haturnya "Sekarang Paduka jangan terlalu bersedih dan khawatir. Hamba
akan menjalankan Swadharmaning Kawula (kewajiban sebagai rakyat) bersama
dengan rakyat Kediri yang lainnya. Hamba akan mengabdikan jiwa dan raga
hamba untuk Kediri. Kita akan gempur Calonarang Rangda Nateng Girah,
kita hancurkan antek-antek, dan kita musnahkan Calonarang”. Demikian Ki
Patih Madri memompa semangat junjungannya. Sungguh lega hati Sang Prabu
mendengar apa yang diucapkan oleh Ki Patih Madri.
Raja Airlangga
kemudian membuat keputusan untuk menggempur Calonarang Rangda Nateng
Girah, dan mempercayakan kepada Ki Patih Madri sebagai pimpinan
penyerangan.
Gugurnya Ki Patih Madri
Gugurnya Ki Patih Madri
Diceritakan Ki
Patih Madri telah mengumpulkan tokoh masyarakat dan penduduk yang
mempunyai ilmu kanuragan atau ilmu kewisesan. Mereka semua dikumpulkan
di Istana dan diberikan pengarahan mengenai rencana penyerangan ke
tempat Ratu Leak di Desa Girah menggempur Calonarang di malam hari.
Waktu yang ditetapkan untuk penyerangan telah tiba. Menjelang tengah malam mereka berangkat bersama dilengkapi pula dengan senjata tajam, sesikepan, gegemet-gegemet, dan juga sesabukan atau sarana magis pelindung diri.
Waktu yang ditetapkan untuk penyerangan telah tiba. Menjelang tengah malam mereka berangkat bersama dilengkapi pula dengan senjata tajam, sesikepan, gegemet-gegemet, dan juga sesabukan atau sarana magis pelindung diri.
Karena kesaktian Calonarang, maka serangan dari pihak
Kediri yang dipimpin Ki Patih Madri telah diketahui sebelumnya.
Sehingga Calonarang memerintahkan kepada seluruh sisya-sisyanya atau
murid-muridnya untuk bersiaga di perbatasan Desa Girah. Calonarang
beserta sisyanya telah bersiaga menyambut kedatangan para jawara Kediri
yang akan menggempurnya. Mereka telah menggelar semua ilmu yang dimiliki
dan telah menyengker atau memagari Desa Girah dengan penyengker gaib,
sehingga kekuatan musuh tidak dapat menembus pertahanan tersebut.
Pada
tengah malam, sampailah Ki Patih Madri dan para jawara Kediri di
perbatasan Desa Girah. Mereka langsung menggelar ajian yang mereka
miliki dan menyerang musuh yang telah menghadang. Serangan tersebut
kemudian dihadang oleh para murid Calonarang yang dipimpin oleh Nyi
Larung sehingga terjadilah pertempuran ilmu kanuragan dimalam hari yang
sangat dasyat.
Bola-bola api beterbangan di antara kedua belah pihak.
Taburan cahaya gemerlapan aneka warna di angkasa yang saling berkelebat,
berkejar-kejaran, dan saling berbenturan. Langit di Desa Girah pada
malam itu bagaikan kejatuhan bintang dari langit yang jumlahnya ribuan.
Memang sungguh-sungguh digjaya mereka semua. Tidak beberapa lama
pertempuran di malam hari berlangsung, serangan dari para jawara Kediri
dapat dipatahkan oleh ketangguhan dari ilmu yang dimiliki oleh
murid-murid Calonarang, sedangkan Ki Patih Madri gugur dalam peperangan
melawan Nyi Larung dan para jawara Kediri banyak yang tewas.
Para jawara
Kediri yang masih hidup berhamburan berlari meninggalkan arena
pertempuran karena terdesak. Mereka berusaha untuk menyelamatkan diri.
Setelah mengalami desakan dari pasukan leak murid-murid Calonarang, maka
para jawara Kediri memutuskan untuk berbalik dan kembali ke Istana
Kediri, serta melaporkan semuanya kehadapan Prabu Airlangga.
Ratu
Leak Calonarang Rangda Nateng Girah Kekalahan pasukan Kediri menyebabkan
pasukan leak Calonarang bergembira. Mereka semua tertawa ngakak yang
suaranya nyaring dan keras membelah angkasa. Suaranya mengalun,
melengking memenuhi angkasa dan berpantulan di antara bukit-bukit.
Sehingga terasa mengerikan sekali suasananya pada malam hari tersebut.
Mereka semua menari-nari di angkasa, berwujud bola-bola api saling
berkejar-kejaran merayakan kemenangannya.
Rangda |
Diceritakan mengenai
perjalanan sisa-sisa pasukan Kediri yang kalah perang. Pada pagi hari
mereka telah sampai di Istana Kediri. Segera mereka menghadap Sang Prabu
dan melaporkan segala sesuatunya. Demikian pula dengan Sang Prabu yang
telah menunggu semalaman dengan harap-harap cemas.
Salah seorang dari
pasukan Kediri menghaturkan sembah kehadapan Sang Prabu “mohon ampun
Paduka, hamba permaklumkan bahwa murid-murid Calonarang benar-benar
teguh atau kuat. Pasukan Kediri tidak mampu mengalahkannya dan Ki Patih
Madri gugur dalam peperangan dan banyak pasukan yang tewas. Hamba gagal
dalam mengemban tugas yang Paduka titahkan. Atas kegagalan tersebut,
hamba mohon ampun, dan siap menjalankan hukuman”. Demikian permakluman
prajurit Kediri kehadapan Sang Prabu.
Raja Airlangga yang bijaksana
kemudian bersabda “ Wahai prajuri Kediri yang gagah berani beserta semua
pasukan, kalah menang dalam peperangan sudah menjadi hukumnya. Yang
penting sekarang adalah aku minta engkau agar tidak surut kesetiaanmu
terhadap Kediri. Teruskanlah kesetiaanmu terhadap Istana, terhadap
Kerajaan Kediri. Janganlah berputus asa, karena masih ada waktu dan
masih ada cara lain untuk menumpas Calonarang beserta dengan
antek-anteknya. Gempur kembali Calonarang.
Sang Prabu melanjutkan
wejangannya. “Harus kalian ingat mengenai Swadharmaning ring payudhan
atau kewajiban dalam pertempuran. Dalam Shanti Parwa disebutkan bahwa
apabila mati dalam peperangan, maka darah yang mengalir muncrat akan
menghapus segala dosamu. Dan Sang Jiwa atau Sang Atma akan menuju
Indraloka. Itulah yang hendaknya diingat dan dijadikan pedoman. Semuanya
itu adalah merupakan sebuah pengorbanan yang suci atau yadnya yang
digolongkan yadnya utama”. Demikian Sang Prabu memberikan wejangan
kepada Prajurit Kediri yang hampir putus asa karena kalah perang.
Mendengar
wejangan tersebut, para pasukan Kediri merasakan hidup kembali dan
bersemangat. Bagaikan diberikan kekuatan bebayon atau kekuatan tenanga
dalam, sehingga semangat pasukan tumbuh kembali. Prajurit kemudian
berkata “baiklah tuanku, sangat senang hamba mendegar wejangan tersebut.
Sekarang hamba sadar dan yakin akan diri. Hamba akan membela
mati-matian dan menyabung nyawa menghadapi Calonarang beserta dengan
murid-muridnya”. Pernyataan Prajurit tersebut dibarengi oleh seluruh
pasukan, dan disambut hangat oleh Raja Airlangga. “Baiklah kalau begitu,
Aku sebagai Raja Kediri sangat menghargai kesetiaamu.
Buku Rahasia Ilmu Pengeleakan Calonarang
Buku Rahasia Ilmu Pengeleakan Calonarang
Empu Bharadah |
Dengan
kalahnya Patih Madri melawan Nyi Larung murid Calonarang, maka Raja
Kediri sangat panik sehingga Raja Kediri memanggil seorang Bagawanta
(Rohaniawan Kerajaan) yaitu Pendeta Kerajaan Kediri yang bernama Empu
Bharadah yang ditugaskan oleh Raja untuk mengatasi gerubug (wabah)
sebagai ulah onar si Ratu Leak Calonarang.
Empu Bharadah lalu
mengatur siasat dengan cara Empu Bahula putra Empu Bharadah di tugaskan
untuk mengawini Diah Ratna Mengali agar berhasil mencuri rahasia ilmu
pengeleakan milik Janda sakti itu.
Empu Bahula berhasil mencuri buku tersebut berupa lontar yang bertuliskan aksara Bali yang menguraikan tentang teknik – teknik pengeleakan.
Empu Bahula berhasil mencuri buku tersebut berupa lontar yang bertuliskan aksara Bali yang menguraikan tentang teknik – teknik pengeleakan.
Setelah Ibu Calonarang
mengetahui bahwa dirinya telah diperdaya oleh Empu Bharadah dengan
memanfaatkan putranya Empu Bahula untuk pura–pura kimpoi dengan putrinya
sehingga berhasil mencuri buku ilmu pengeleakan milik Calonarang.
Ibu
Calonarang sangat marah dan menantang Empu Bharadah untuk perang
tanding pada malam hari di Setra Ganda Mayu yaitu sebuah kuburan yang
arealnya sangat luas yang ada di Kerajaan Kediri.
Pertempuran Penguasa Ilmu Hitam dengan Penguasa Ilmu Putih di Setra Ganda Mayu
Pertempuran Penguasa Ilmu Hitam dengan Penguasa Ilmu Putih di Setra Ganda Mayu
Dalam
perang besar ini Raja Airlangga mengikutkan Pasukan Khusus Balayuda
Kediri dalam menghadapi Calonarang dan pasukan leaknya.
Para Pasukan
Balayuda Kediri yang terpilih sebanyak dua ratus orang yang dipimpin
oleh Ki Kebo Wirang dan Ki Lembu Tal. Semua pasukan ini akan mengawal
dan membantu Empu Bharadah dalam menumpas kejahatan yang dilakukan oleh
Calonarang dan antek-anteknya.
Segala sesuatu perlengkapan segera
dipersiapkan seperti senjata tajam berupa tombak, keris, klewang, dan
lain-lain. Demikian pula dengan berbagai sarana pelindung badan yang
gaib sebagai sarana penolak atau penempur leak, sarana kekebalan,
semuanya diturunkan dari tempatnya yang pingit atau tempat rahasia. Yang
tidak kalah pentingnya adalah persiapan mengenai perbekalan makanan dan
minuman yang diperlukan selama penyerangan.
Ketika semua persiapan
dianggap rampung, maka mereka pun istrirahat agar tenaga cukup kuat
untuk penyerangan besok. Keesokan harinya perjalanan penyerangan
dilakukan, pasukan khusus atau pasukan pilihan dari Kediri yang disebut
dengan Pasukan Balayuda dalam penyerangan tersebut mengawal Empu
Bharadah. Sedangkan di depan sebagai pemimpin pasukan dipercayakan
kepada Ki Kebo Wirang didampingi Ki Lembu Tal.
Tidak diceritakan
perjalanan mereka, akhirnya rombongan Empu Bharadah dan pasukan Kediri
sampai di pesisir selatan Desa Lembah Wilis. Di sana rombongan tersebut
berhenti sejenak untuk beristirahat dalam persiapan untuk menuju ke Desa
Girah. Semua pasukan kemudian menuju Setra Ganda Mayu yang berada di
Wilayah Desa Girah.
Diceritakan kemudian Ibu Calonarang dirumahnya
diiringi oleh para sisyanya semua melakukan penyucian diri dan mengayat
atau memuja kehadapan Ida Betari mohon anugrah kesaktian. Mereka
memusatkan pikiran dan memanunggalkan bayu atau tenaga, sabda atau
suara, dan idep atau pikiran, memuja Ida Betari bersarana sekar manca
warna atau bunga warna-warni, dengan disertai asep menyan majegau atau
wangi-wangian yang dibakar yang asapnya membubung ke angkasa,
seolah-olah menyampaikan niat Ibu Calonarang kehadapan Ida Betari.
Semua
pekakas dan sarana pengleakan diturunkan dari tempatnya yang pingit
atau tempat rahasia, dan masing-masing menggunakannya. Di hadapan mereka
juga digelar tetandingan jangkep atau sarana sesajen lengkap sesuai
dengan keperluan. Calonarang kemudian mulai memejamkan mata dan
memusatkan pikiran. Ia tampak berkomat-kamit mengucapkan mantra sakti
memohon anugrah kesaktian dan kesidian kehadapan Hyang Maha Wisesa,
dengan harapan Empu Bharadah dan Balayuda Kediri dapat dikalahkan.
Setelah
beberapa saat melakukan konsentrasi, maka sampailah pada puncaknya.
Raja pengiwa pun telah dibangkitkan dan merasuk ke dalam sukma.
Kedigjayaan atau kewisesan telah turun dan masuk ke dalam jiwa raga.
Calonarang kemudian bangkit dan berkata kepada semua sisyanya
“para
sisyaku semuanya, permohonan kita kehadapan Hyang Betari telah
terkabulkan dan telah mencapai puncaknya. Kesaktian telah kita
bangkitkan semuanya, dan telah merasuk ke dalam jiwa dan raga. Kini
saatnya kita bertarung menghadapi Empu Bharadah dan Balayuda Kediri.
Kita akan pertahankan harga diri kita. Mampuskan semua orang-orang
Kediri yang datang ke sini menyerang".
Demikian perintah Calonarang
kepada seluruh sisyanya. Suaranya ketika itu telah berubah menjadi besar
dan menggema, dan bukan merupakan suaranya yang biasa. Kemudian
Calonarangpun tertawa ngakak, dan terdengar menakutkan.
Semua sisya
Calonarang telah nyuti rupa atau berubah wujud dan siap menyerang. Ada
wujud bojog atau monyet yang siap menggigit, ada kambing siap nyenggot
atau menanduk, ada sapi dan kuda yang siap ngajet atau menendang, ada
kain kasa atau kain putih panjang yang siap menggulung dan membakar, ada
bade atau menara pengusungan mayat yang siap membakar, ada babi
bertaring panjang yang siap ngelumbih atau membanting dengan kepala, ada
awak belig atau badan licin yang mukanya seperti umah tabuan atau
sarang tawon.
Rangda, Rarung dan Celuluk |
Ada pula api bergulung-gulung yang siap membakar siapa
saja yang menghadang. Semua pasukan leak kemudian keluar dari rumah
Calonarang dalam rupa bola api beterbangan, kemudian menuju ke Setra
Ganda Mayu tempat perjanjian pertempuran dengan Empu Bharadah dan
pasukan Balayuda Kediri.
Melihat pasukan leak dengan beraneka rupa
datang, pasukan Kediri menjadi kaget dan was-was dan ada yang ketakutan.
Semuanya bersiap-siap dan merapatkan diri. Demikian pula dengan Ki Kebo
Wirang dan Ki Lembu Tal, mereka berdua sangat waspada serta selalu
berada di dekat Empu Bharadah untuk mengawalnya.
Empu Bharadah tidak
sedikitpun gentar melihat kawanan leak tersebut, bahkan semangat untuk
bertempur semakin membara. Sambil juga Empu Bharadah mengucap mantra
sakti Pasupati. Dilengkapi pula dengan sarana sesikepan, sesabukan,
rerajahan kain, dan pripian tembaga wasa atau lempengan tembaga. Sangat
ampuh mantra sakti Pasupati tersebut. Empu Bharadah membawa pusaka sakti
berupa sebuah keris yang bernama Kris Jaga Satru.
Calonarang Tewas
Calonarang Tewas
Pertarunganpun
terjadi dengan sangat seram dan dahsyat antara penguasa ilmu hitam
yaitu Calonarang dibantu para sisya atau murid-muridnya dengan penguasa
ilmu putih yaitu Empu Bharadah dibantu Pasukan Balayuda Kediri, di Setra
Ganda Mayu.
Pertempuran berlangsung sangat lama sehingga sampai
pagi, dan karena ilmu hitam mempunyai kekuatan hanya pada malam hari
saja, maka setelah siang hari Ibu Calonarang akhirnya tidak kuat melawan
Empu Bharadah.
Calonarang terdesak dan sisyanya banyak yang tewas
dalam pertempuran melawan Empu Bharadah dan Pasukan Balayuda Kediri.
Mengetahui dirinya terdesak, Calonarang seperti biasa segera menggelar
kesaktian pengiwanya. Ia segera berubah wujud menjadi seekor burung
garuda berbulu emas, melesat ke udara, dan bersembunyi di balik awan.
Ketika itu, Empu Bharadah segera masuk ke dalam rumah Calonarang .
Didapatinya rumah Calonarang telah kosong, tak ada siapa-siapa. Pasukan
Balayuda Kediri mengurung rumah Calonarang.
Empu Bharadah kemudian
berteriak :
“Hai kau Calonarang pengecut, di mana gerangan engkau
bersembunyi. Sudah berwujud apa engkau sekarang, aku akan hadapi. Aku
menantangmu, ayolah segera tunjukkan batang hidungmu”.
Setelah berkata
demikian, tiba-tiba ada jawaban dari angkasa. Rupanya Calonarang sudah
bersembunyi dari tadi, tanpa sepengetahuan pasukan Kediri. Calonarang
berkata :
“Hai kau Empu Bharadah, dimana bersembunyi rajamu".
Mendengar
ejekan si garuda tersebut dari udara membuat Empu Bharadah menjadi naik
darah. Segera Empu Bharadah memerintahkan kepada Ki Kebo Wirang untuk
membidikan senjata tersebut ke arah si Garuda Calonarang.
Namun ketika
itu, Ki Kebo Wirang menjadi kebingungan karena musuh yang akan dibidik
tidak kelihatan. Hanya suaranya saja yang berkoar-koar. Ditambah lagi
dengan adanya kilat dan guntur yang menggelegar di angkasa. Semakin
menyulitkan untuk membidik si Garuda Calonarang.
Menghadapi situasi
demikian, Empu Bharadah mencoba untuk memikirkan sebuah daya upaya. Empu
Bharadah kemudian memerintahkan kepada Ki Lembu Tal sebagai umpan, agar
si garuda mau keluar dari persembunyiannya.
Ki Lembu Tal mencoba untuk
mencari tempat yang agak terbuka. Mereka menari-nari sambil
mengibas-ngibaskan senjatanya ke udara sebagai pertanda menantang. Ki
Lembu Tal mengejek si garuda :
“Hai engkau Calonarang, kenapa engkau
bersembunyi. Ayo turun, akan aku potong lehermu, akan aku cincang
engkau, bila perlu aku jadikan burung garuda panggang. Hai kau
Calonarang, kalau memang engkau sakti mengapa engkau bersembunyi di
tempat yang tinggi begitu. Kalau engkau mau, kau boleh hisap pantatku”.
Demikian ejekan Ki Lembu Tal yang tidak senonoh, sambil membuka kainnya
dan memperlihatkan pantatnya ke arah datangnya suara Calonarang.
Mendengar
dan melihat ejekan Ki Lembu Tal, menyebabkan Calonarang menjadi naik
darah, dan segera keluar dari persembunyiannya. Si garuda Calonarang
dengan secepat kilat terbang dan menyambar Ki Lembu Tal. Pada saat si
garuda terbang menyambar Ki Lembu Tal, ketika itu pula Empu Bharadah
membidikkan senjata pusaka Jaga Satru dan menembakkannya ke arah sang
garuda. Si garuda jelmaan Calonarang tersebut terkena tembakan senjata
Jaga Satru dan jatuh tersungkur ke tanah.
Segera si garuda mengambil
wujud kembali menjadi manusia sosok Calonarang. Ratu Leak Calonarang
yang sakti mandraguna tidak berdaya dengan kesaktian senjata pusaka Jaga
Satru Empu Bharadah. Semua pasukan Balayuda Kediri segera mendekati
Calonarang yang tidak berdaya dan kemudian Calonarang menghembuskan
nafas terakhir di Setra Ganda Mayu.
Dengan meninggalnya Ibu Calonarang maka bencana gerubug (wabah) yang melanda Kerajaan Kediri bisa teratasi.
Sumber : Forum Ka*k** Menguak Misteri Bali
0 comments:
Komentar Anda